spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Kota Peradaban

Oleh: Sunarto Sastrowardojo
Sekretaris Forum Socio Enginnering Nusantara

TIGA bulan terakhir pendengaran saya pulih. Tapi sebenarnya bukan pulih, sih. Saya sendiri yang memulihkan atas fungsinya sebagai telinga sebagai alat pendengaran yang sangat berguna untuk proses komunikasi, bahkan sebagai organ keseimbangan bersama dengan mata, persendian, otot dan kulit.

Tiga tahun terakhir saya memang puasa untuk menggunakan telingan, untuk mendengar, karena jika telinga saya mendengar maka mulut saya, eh maaf. Jari saya dipanggil keyboard laptop lalu menulis dan tulisannya beraneka ragam bentuk dan akibatnya.

Tapi tiba tiba telinga saya mendengar banyak orang memperbincangkan peradaban, Samarinda sebagai Kota Pusat Peradaban. Yah kurang lebih tiga bulan terakhir, lah. Ketika Ibu Kota Nusantara Nampak mulai serius dikerjakan meski dengan cara yang kurang arif.

Peradaban dalam pemahaman saya adalah kemajuan lahir dan batin yang meliputi kecerdasan dan kebudayaan dengan objek sebuah bangsa. Selain itu, peradaban juga bermakna, ya soal soal yang menyangkut sopan santun, budi bahasa, dan kebudayaan suatu bangsa.

Abul a’la al-maududi mengatakan, “hadharah atau peradaban tidak lain hanyalah sebuah sistem yang integral, yang mencakup semua yang dimiliki oleh manusia, meliputi pemikiran, ide, tindakan, dan moral dalam kehidupan mereka, baik secara personal, keluarga, sosial, ekonomi, maupun politik.

Sebelum tersesat dengan kalimat peradaban, berikut saya singgung sedikit tentang Sayyid Abul A’la Maududi, juga dikenal sebagai maulana atau Syeikh Sayyid Abul A’la Mawdudi, dia seorang jurnalis, teolog, dan filsuf politik Pakistan Sunni, dan mayor pemikir Islam Ortodoks abad ke-20. Dia juga merupakan figur politik di negaranya, di mana didirikan partai Islam Jamaat Al-Islami.

Lalu apa kata filsuf, sejarawan arah matahari terbenam, barat tentang peradaban. Arnold Toynbee. Menurutnya peradaban adalah kebudayaan yang telah mencapai taraf perkembangan teknologi yang lebih tinggi. Arnold juga menyebut peradaban sebagai kumpulan seluruh hasil budi daya manusia yang mencakup semua aspek kehidupan manusia, baik fisik maupun non-fisik.

Baca Juga:   Masuk Masa Endemi, Event Kembali Bergairah

Ketika Samarinda penancapkan kalimat Pusat Kota Peradaban, saya benar benar terkesima. Tiga tahun setelah saya tinggalkan Samarinda kota ini benar benar reborness. Terlahir kembali. Kebingungan masyarakat, kebingungan pemimpin terjawab ketika Pusat Peradaban dicanangkan.

Kebingungan pertama, menghilangkan skeptisme masyarakat. Masyarakat Kota Samarinda stigmanya beraneka ragam. Pemalas, tidak perduli, egois. Bahkan ada yang menilai masyarakat Samarinda adalah manusia air yang metabolismenya dipengaruhi oleh kelembaban kota yang di atas 90.

Artinya peralatan penghirup udara, paru paru hingga kenyamanan termal masyarakatnya terbiasa hidup di tepi air. Ini yang disebut oleh beberapa pakar perancaaan kota agak sulit mengajak warga Ibu Kota Provinsi Kalimantan Timur ini menghilangkan banjir atau bahkan peduli banjir, wow. Ndak terlalu benar juga sih pendapat ini.

Kebingungan kedua. Ini kebingungan saya. Andi Harun. Doktor Hukum UMI Makassar ini tiba tiba saja, dengan kecerdasan sosialnya, mencanangkan Pusat Kota Peradaban. Saya kenal baik dengan Andi Harun. Hanya saja dia yang menghabiskan masa mudanya sebagai anggota dewan itu yaqin tidak mengenal saya.

Tapi ini jadi yang ketiga kesulitan yang ada di Samarinda. Ehem kesulitan kedua belum selesai. Kecerdasan sosial Andi Harun yang saya maksud adalah adaption mind yang nakal dan berani mencanangkan Pusat Kota Peradaban.

Semoga konsepnya juga soal perilaku warga Kota Samarinda yang sebenarnya adalah butuh komunikasi, buka hanya di saat diajak mengerti akan visi misi saat kampanye, tapi juga komunikasi dalam membangun kota ini jadi lebih memiliki kebiasaan yang ramah lingkungan.

Baca Juga:   Samarinda-Venesia Italia

Membangun kota itu perlu ahli lingkungan, ekonom dan arsitek. Arsitek dalam membangun rumah juga memiliki tiga aspek penting yakni menggunakan bahan lokal, bersahabat dengan lingkungan dan meminta persetujuan tetangga.

Persetujuan tetangga ini lah yang sangat penting dalam mengubah budaya, peradaban kota ini sebagai kawasan penyangga Ibu Kota Nusantara yang katanya pasti pindah ke Kalimantan Timur, ke irisan dua kabupaten, ke Kecamatan Sepaku dan ke Desa Bumi Harapan dan Kelurahan Pamaluan sebagai kawasan inti pusat pemerintahan dengan luas 6.671 hektar. Luas Ibu Kota Nusantara ini jika dibandingkan dengan DKI yang luasnya 661,52 kilometer persegi.

Kembali ke tekad Samarinda yang akan berevolusi menuju Kota Pusat Peradaban. Ciri-ciri umum sebuah peradaban adalah pemerintahan yang tertip karena terdapat hukum dan peraturan. Berkembangnya beragam ilmu pengetahuan dan teknologi yang lebih maju seperti astronomi, kesehatan, bentuk tulisan, arsitektur, kesenian, ilmu ukur, keagamaan, dan lain-lainnya.

Lalu apa beda antara kebudayaan dan peradaban. Kebudayaan cenderung bersifat tertutup terhadap pengaruh dari luar, sedangkan peradaban lebih terbuka terhadap perubahan dan perkembangan yang ada. Hal ini dikarenkan budaya lebih terpusat pada suatu kelompok tertentu, sedangkan peradaban lebih terbuka untuk kehidupan yang lebih luas.

Lalu bagaimana peradaban atau Samarinda menjelma menjadi Pusat Kota Peradaban. Suatu peradaban timbul karena ada yang menciptakannya yaitu di antaranya faktor manusianya yang melaksanakan peradaban tersebut. Suatu peradaban mempunyai wujud, tahapan dan dapat berevolusi atau berubah sesuai dengan perkembangan zaman.

Dari peradaban pula dapat mengakibatkan suatu perubahan pada kehidupan sosial. Nah Samarinda sebenarnya memiliki celah untuk berevolusi menjadi Pusat Kota Peradaban. Misalnya soal banjir.

Baca Juga:   Masuk Masa Endemi, Event Kembali Bergairah

Arsitek akan mudah membangun kota baru seperti Ibu Kota Nusantara, akan tetapi tingkat kesulitan membangun Samarinda sebagai Pusat Kota Peradaban lebih sulit hahnya untuk membebaskan Samarinda dari genangan air kala curah hujan tinggi dan cukup lama durasinya. Atau mungkin saja atau jangan jangan masyarakat Samarinda lebih suka kotanya basah.

Peradaban memiliki kaitan yang erat dengan kebudayaan. Kebudayaan pada hakikatnya adalah hasil cipta, rasa, dan karsa manusia atau katakanlah pemimpinnya dalam memenuhi kebutuhan hidup masyarakatnya. Kemampuan cipta (akal) manusia menghasilkan ilmu pengetahuan. Tidak ada suatu kebudayaan bila tidak adanya upaya mengubah peradaban yang masuk akal.

Mewujudkan Samarinda sebagai kota pusat peradaban menurut Andi Harun, berangkat dari awal ia mencalonkan diri dan mengadobsi fenomena kepindahan Ibu Kota Nusantara ke Kecamatan Sepaku.

Menurutnya, berawal dari Jakarta sebagai pusat perkembangan semua sektor prisma kehidupan masyarakat di Indonesia, suatu hari nanti akan berpindah ke Kaltim. Hal itu lah yang membuat Walikota ini beranggapan Kota Samarinda, kelak, tidak hanya sekadar penyangga IKN.

Kesulitan mengubah Samarinda dari sudut pandang masyarakat luas, terlepas upaya upaya yang sudah dilakukan oleh pemerintah. Persoalan sosial, budaya, ekonomi bahkan politik disebut sebut sebagai salah satu penyebab sulitnya membebaskan Samarinda ini dari banjir.

Membangun stratifikasi budaya tak lah mudah dan cepat, membangun peradaban bukan pekerjaan sesaat atau satu generasi, membebaskan Samarinda dari persoalan banjir tidak cukup dengan dua kali masa jabatan walikota.

Artinya niat untuk membangun Samarinda sebagai pusat peradaban harus diawali dari menegakkan pondasi budaya dan peradaban yakni aturan dan harus keras. Ini jika pencanangan Samarinda sebagai Pusat Kota Peradaban bukan sekadar main main. (*)

BERITA POPULER