KOTA SAMARINDA kembali tenggelam. Dalam tempo kurang dari sebulan, dua banjir besar melanda Kota Tepian: pada 12 Mei dan 27 Mei 2025. Tak hanya merendam 36 titik, bencana ini juga menyebabkan longsor, pohon tumbang, bahkan merenggut korban jiwa.
Meski banjir kali ini menuai kritik dari publik, Wali Kota Samarinda, Andi Harun, menolak jika disebut gagal menangani persoalan banjir.
Kepada wartawan Media Kaltim, ia menyebut peristiwa tersebut sebagai “anomali tahunan”, sebuah fenomena yang menurutnya tidak bisa dijadikan tolok ukur keberhasilan program penanggulangan banjir.
“Peristiwa 12 Mei itu adalah anomali, siklus tahunan. Maka, tidak bisa dari kejadian itu kita simpulkan bahwa program penanggulangan banjir kita kurang berhasil,” ujar Andi Harun.
Namun, masyarakat tentu berhak bertanya: berapa kali lagi kota ini harus terendam sebelum disimpulkan bahwa ada yang keliru dalam prioritas pembangunan?
Alumni Fakultas Kehutanan (Fahutan) Universitas Mulawarman (Unmul), kawan saya, menyampaikan kritik tajam namun konstruktif.
Ia menyatakan bahwa penanganan banjir di periode pertama Andi Harun patut diapresiasi. Namun pada periode kedua, arah kebijakan dinilai mulai melenceng.
“Sekarang ini lebih banyak proyek yang bukan kebutuhan primer. Banyak yang sekunder, bahkan tersier. Padahal, Samarinda adalah kota eks tambang. Hampir semua izin tambang sudah habis. Tapi reboisasinya belum dikejar,” katanya.
Ia juga menyoroti lambatnya realisasi pembangunan folder penahan air di kawasan Damanhuri—proyek strategis yang seharusnya mampu menampung limpasan air dari Mugirejo. Lahan seluas 12 hektare milik Pemprov telah tersedia, namun 10 hektare yang diperuntukkan bagi folder tersebut belum juga ditindaklanjuti secara serius.
“Sudah dua tahun diwacanakan. Tapi yang terjadi justru tarik-menarik antara Pemkot dan Pemprov. Padahal, anggaran banjir dari Pemprov itu sudah ratusan miliar,” ujarnya.
Lebih jauh, ia menyebut bahwa pembukaan lahan baru untuk perumahan dan permukiman, yang bahkan merambah area pemakaman, turut memperparah kondisi. Situasi ini memperburuk daya serap tanah dan mempercepat limpasan air ke kawasan padat penduduk.

Yang tak kalah penting, banjir pada Selasa (27/5) kembali menelan korban jiwa. Longsor terjadi di Jalan Gerilya, Gang Keluarga, Kelurahan Sungai Pinang Dalam.
Komandan Tim Basarnas Kota Samarinda, Iwan Setiawan Abbas, melaporkan bahwa enam orang menjadi korban. Empat orang selamat, satu korban ditemukan dalam kondisi hidup namun terjepit reruntuhan, dan satu lainnya masih dalam pencarian.
“Yang kami lakukan adalah penyulingan shoring system terlebih dahulu karena longsoran masih labil. Untuk korban yang masih hidup, kami upayakan evakuasi secepat mungkin,” ujarnya di lokasi kejadian.
Evakuasi berlangsung dalam kondisi berisiko tinggi karena kontur tanah yang sangat labil dan potensi longsor susulan yang besar. Kejadian ini menegaskan bahwa banjir dan dampaknya tak lagi sekadar urusan genangan air, melainkan soal keselamatan jiwa warga.
Keluarga saya pun turut menjadi korban. Saya memiliki rumah di Gang Arwana 3, Jalan Marhusein, Kelurahan Selili. Rumah itu kini ditempati keluarga dan putri saya yang kuliah di Unmul. Banjir hampir tidak pernah masuk ke dalam rumah. Terakhir terjadi pada 2023. Namun tahun ini berbeda. Sudah dua kali air menerobos ke dalam rumah. Pada 12 Mei lalu, saya sedang berada di rumah dan ikut merasakan bagaimana sulitnya membersihkan lumpur, menyelamatkan barang, dan merasakan ketidaknyamanan seperti yang dialami banyak warga lain.
**
Ini bukan sekadar persoalan teknis, tetapi menyangkut rasa aman dan kelayakan hidup di tengah kota.
Dalam kondisi seperti ini, peran media menjadi sangat penting. Aspirasi publik perlu dijembatani. Solusi teknis harus dikawal. Ego sektoral antara Pemkot dan Pemprov mesti ditekan.
Kita tak bisa terus menghibur diri dengan kata “anomali” sementara genangan menjadi rutinitas, dan banjir terasa seperti takdir tahunan.
Banjir di Samarinda bukan sekadar peristiwa alam. Ia adalah cermin dari arah kebijakan. Dan kini, cermin itu memantulkan sebuah tanda tanya besar: apakah periode kedua Andi Harun masih berpihak pada kebutuhan dasar warganya? (*)
Oleh Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.