SAMARINDA – Sejumlah peraturan tak lazim dijalankan manajemen Rumah Sakit Haji Darjad beberapa tahun terakhir. Salah satunya adalah memotong secara langsung gaji karyawan yang telah mengundurkan diri dengan dalih membayar upah jahit seragam kerja.
Kasus ini pun kini ditanggapi serius oleh Dinas Tenaga Kerja Kota Samarinda. Pasalnya, seragam kerja merupakan bagian dari fasilitas yang harus disediakan perusahaan untuk karyawan.
“Kenapa dipotong lagi? Kalaupun misalnya itu harus dibayar karyawan, harusnya baju itu dikembalikan ke karyawan. Kan dia yang membayar?” kata Hilman, Mediator Disnaker Kota Samarinda, saat diwawancara bersama Kepala Disnaker Kota Samarinda, Wahyono Hadi Putro, di ruang kerjanya, Senin 12 Juni 2023.
Hilman menyatakan, gaji yang dipotong tersebut harus dikembalikan manajemen RSHD. “Harus dikembalikan karena tidak ada dasarnya. Logikanya dari mana, orang membeli tapi tidak memiliki,” ujarnya.
Selain itu, soal penahanan ijazah karyawan yang dilakukan manajemen RSHD, Hilman menyebut ijazah sebenarnya bukan sebagai jaminan seperti surat tanah. Dia menjelaskan, apabila itu disepakati oleh kedua belah pihak –dalam hal ini perusahaan dan karyawan– maka itu hukum yang berlaku diantara keduanya.
“Kalau ada yang wanprestasi salah staunya, berarti silahkan menggungat ke pengadilan umum,” terangnya. “Kalau ijazah hilang dan terbakar bagaimana? Ini kan modal dia untuk bekerja di tempat lain,” timpal Hilman.
Sebagai informasi, manajemen Rumah Sakit Haji Darjad diduga menerapkan kebijakan tak lazim. Hal itu diberlakukan kepada puluhan eks karyawan yang memutuskan resign. DY, salah satu eks karyawan, mengaku harus mengembalikan seragam kerja setelah memutuskan resign dari RS Haji Darjad.
Kata DY, seragam kerja yang dikembalikan ini harus dibayar sebesar Rp 1 juta. Manajemen RSHD berdalih, uang itu digunakan untuk membayar upah jahit. Dia yang mengaku tak memiliki pilihan, harus menerima sisa gajinya yang telah dipotong secara langsung tersebut. “Kebijakan ini menurut saya juga janggal, kok sisa gaji yang kami terima tidak ditransfer di rekening bank, tapi diberikan secara cash,” katanya.
Menurut keterangan DY, dia dan eks karyawan lain hanya mendapatkan tanda terima berupa salinan kertas tanpa kop dan stempel perusahaan. Isinya adalah rincian sisa gaji. Besarannya variatif, tergantung bulan berapa eks karyawan bersangkutan berhenti bekerja.
“Dibagian bawahnya tertera tulisan ‘Potongan Upah Jahit Baju’ sebesar Rp 1 juta. Ini diberlakukan kepada kami (eks karyawan, Red.) yang memutuskan resign pada Januari, Februari, sampai awal Maret,” ujarnya.
DY menerangkan, saat informasi mengenai kebijakan ini sampai ke telinga Dinas Tenaga Kerja Kota Samarinda, pemotongan gaji untuk upah jahit baju itu mendadak tidak diberlakukan lagi. Dia menyebut, manajemen RSHD berdalih pemotongan hanya dilakukan untuk karyawan yang bekerja tak lebih dari 1 tahun.
Namun, hal itu lantas dibantah oleh DY. Dia mengaku telah bekerja nyaris 2 tahun. “Sisa gaji saya dipotong Rp 1 juta untuk bayar seragam, anehnya seragamnya justru dikembalikan. Secara logika ini tidak masuk akal,” katanya pria berambut pendek ini. (mk)