SAMARINDA – Kelapa sawit telah menjadi komoditas utama di Kalimantan Timur (Kaltim), dengan data dari Dinas Perkebunan pada tahun 2023 menunjukkan bahwa kelapa sawit mendominasi 89 persen dari 1,5 juta hektare perkebunan di provinsi ini. Diperkirakan, hingga tahun 2024, luas perkebunan kelapa sawit akan mencapai 1,7 juta hektare.
Namun, meskipun produksi Tandan Buah Segar (TBS) mencapai 19 juta ton, hasil yang diolah menjadi Crude Palm Oil (CPO) hanya mencatatkan angka sebesar 4,3 juta ton.
Pengamat Ekonomi dan akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mulawarman (Unmul), Hairul Anwar, menilai bahwa meskipun transfer dari pemerintah pusat ke daerah mencapai sekitar Rp 200 miliaran per tahun, angka tersebut belum dapat memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian daerah.
“Kalau kita melihat angka-angkanya, yang langsung ya, dalam bentuk transfer pemerintah pusat, itu kan Rp 200 miliaran saja per tahun,” sebut Hairul Anwar, pengamat ekonomi juga akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mulawarman (Unmul).
Menurutnya, dengan angka-angka transfer yang disebar ke seluruh kabupaten/kota Kaltim, bukanlah angka yang impresif. Sehingga yang diharapkan adalah turunannya, yaitu perputaran ekonomi di lingkup masyarakat sekitar perkebunan.
Perlu pula diketahui bahwa sektor perkebunan menyumbangkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) ke empat terbesar, setelah pertambangan, migas dan pembangunan.
“Yang selama ini kita inginkan adalah dampak langsung ke masyarakat. Dengan cara menciptakan penggilingan-penggilingan komunal,” kata Hairul.
Sebagai salah satu penopang pemasukan Kaltim, kelapa sawit seyogiyanya mendapatkan perhatian langsung dari pemerintah daerah.
Salah satu fokusnya menurut Hairul adalah bagaimana ekosistem kelapa sawit saat ini hanya bertumpu kepada penjualan TBS. Sedangkan harga TBS yang tertahan biasanya akan menurun harganya.
“Lain halnya jika diproses dalam bentuk CPO, misalnya,” terang Hairul.
Hairul mendorong produksi CPO daripada menjual sawit-sawit ke TBS. Apalagi menurutnya, bicara soal teknologi pembuatan CPO sudah tidak lagi mahal, sebab masyarakat bisa belajar melalui internet untuk mencipta teknologi pembuat CPO.
Lantas, kerja sama antara masyarakat dengan perusahaan berubah. Tidak lagi hanya menjual TBS tetapi menjual CPO, lebih baik lagi jika bisa menjual PKO (Palm Kernel Oil) atau minyak yang diekstraksi dari biji kelapa sawit.
Apalagi diprediksi hingga tahun ini, kelapa sawit tetap menjadi primadona pemasukan daerah meskipun juga bukan yang utama. Maka, perputaran ekonomi di antara masyarakat dengan penyerapan tenaga kerja sawit sangatlah urgen untuk jadi perhatian.
“Secara angka kontribusi sawit tidak signifikan terhadap Kaltim, hanya beberapa miliar saja. Tapi total perekonomiannya dengan penyerapan tenaga kerja hingga perputaran ekonomi di masyarakat, itulah yang kita inginkan,” tegasnya.
Bila inovasi pengembangan sawit berubah menjadi produksi CPO, dirasa akan lebih meningkatkan daya jual untuk masyarakat. Tentu saja akan meluaskan ruang ekonomi dengan penyuplai, tenaga kerja baru, ditambah pula kerjasama antar desa untuk saling memenuhi pergerakan produksinya.
“Justru karena perjalanan sawit akan tetap menjadi primadona bahkan hingga tahun ini. Membesar kue-kue masyarakat melalui penjualan CPO adalah satu cara meningkatkan daya ekonomi Kaltim,” tekannya.
Pewarta : K. Irul Umam
Editor : Nicha R