Foto: Ketua Komisi I DPRD Kota Samarinda, Samri Saputra. (Hadi Winata/Radar Samarinda)
SAMARINDA – Polemik pendirian rumah ibadah Gereja Toraja Sungai Keledang telah bergulir ke meja legislatif dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) DPRD Kota Samarinda. Pihaknya mendorong permasalahan tersebut diselesaikan dengan musyawarah dan pendekatan langsung ke lapangan.
Hal itu diungkapkan oleh Ketua Komisi I DPRD Kota Samarinda, Samri Saputra yang menegaskan pentingnya klarifikasi terhadap dukungan warga yang tercantum dalam dokumen pengajuan pendirian gereja, terutama terkait dugaan pemalsuan tanda tangan.
“Kita harus turun langsung, konfirmasi ke warga yang menyatakan mendukung. Karena ada dugaan bahwa tanda tangan yang tercantum itu dipalsukan atau tidak sesuai peruntukan saat diminta,” ungkapnya, Selasa (8/7/2025).
Disamping itu, Politis Partai PKS ini menjelaskan bahwa Lurah setempat juga telah menyampaikan, redaksi dalam surat dukungan yang ditandatangani warga tidak sesuai dengan maksud awal saat dokumen tersebut diajukan.
“Lurah merasa tertipu secara redaksional. Saat dia tandatangani, ternyata tujuannya berbeda dengan yang dipahami,” katanya.
Karena itu, menurut Samri, perlu dilakukan peninjauan ulang terhadap rekomendasi yang telah dikeluarkan oleh Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), guna mencegah konflik yang berlarut di masyarakat.
“Jangan sampai pemerintah mengeluarkan izin hanya karena syarat administratif terpenuhi, tapi ternyata di lapangan masyarakat merasa tak pernah setuju. Ini bisa mengganggu ketentraman dalam beribadah,” ujar Samri.
Dalam polemik ini, ia mengatakan bahwa apabila semua syarat dan prosedur telah dijalankan sesuai aturan, seharusnya tidak akan muncul penolakan dari warga. Dirinya juga menekankan bahwa permasalahan ini harus segera mendapat kejelasan, terutama terkait validasi yang diklaim oleh pihak yang menolak ada dugaan pemalsuan dokumen dukungan tersebut.
“Kalau prosedur benar, FKUB pasti sudah konfirmasi ke masyarakat, dan warga pun tidak akan datang melapor. Faktanya, justru warga yang menggugat. Ini yang harus kita klarifikasi. Apakah FKUB sudah benar-benar turun ke lapangan sebelum mengeluarkan rekomendasi?” tegasnya.
Menanggapi pertanyaan soal toleransi antarumat beragama di Kota Samarinda, Samri menekankan bahwa toleransi harus lahir dari rasa nyaman bersama, bukan sekadar memenuhi syarat administratif. Dirinya mendorong agar seluruh pihak dapat menyelesaikan masalah melalui musyawarah sehingga semua pihak dapat merasa nyaman dalam kehidupan bermasyarakat.
“Toleransi itu bukan berarti memaksakan kehendak minoritas lalu mengabaikan mayoritas. Ketika semua pihak merasa nyaman, walaupun berbeda keyakinan, di situlah toleransi sejati hadir. Jadi jangan salah kaprah dalam menafsirkan makna toleransi,” demikian Samri Saputra.
Penulis: Hadi Winata
Editor: Andi Desky