FENOMENA permainan ketangkasan lato-lato memang digandrungi di Indonesia. Terutama bagi anak-anak maupun remaja. Suara khas lato-lato memenuhi hampir setiap sudut.
Hal ini dianggap Psikolog Anak, Ayunda Ramadhani, sebagai permainan alternatif di tengah gempuran permainan gadget yang tidak lepas dari tangan anak-anak saat ini. Meskipun ada dampak positif maupun negatif yang ditimbulkan. Namun jika dilihat dari perspektif yang berbeda pula.
Ayunda mengatakan, hal positif pertama, yakni menjauhkan anak-anak dari ketergantungan gadget. Dimana tidak dipungkiri, selama ini anak lebih “nyaman” saat berada di depan layar smartphone. Dibandingkan bermain secara langsung bersama teman-teman.
“Dengan kehadiran tren (lato-lato) ini menambah alternatif permainan yang bisa dimainkan. Tentunya bersifat permainan fisik, tetapi tidak memberikan risiko bahaya asalkan ada pengawasan dan pendampingan orangtua atau orang terdekat,” ungkap Ayunda.
Ayunda menambahkan, sejauh lato-lato dimainkan secara baik dan berhati-hati, tentu akan menimbulkan kreativitas anak-anak. Membangkitkan mood senang dari anak-anak, bahkan bisa saja menimbulkan kompetisi antar teman untuk siapa yang bermain lebih jago.
Selanjutnya, permainan ini akan menjadi negatif ketika si anak bermain tanpa pengawasan orangtua maupun orang terdekat. Ia meyakini banyak anak-anak yang alami luka memar di beberapa bagian tubuh saat bermain lato-lato, lantaran kurangnya pengawasan.
Selain itu, karena terlalu asyik bermain hingga meninggalkan kewajibannya. Seperti malas belajar dan mengerjakan, malas beribadah, malas untuk makan dan lebih mementingkan bermain lato-lato. Dan risiko paling parah, yakni bermain lato-lato yang tidak diawasi akan mencelakai diri sendiri ataupun orang lain.
Belum lagi sempat viral di media sosial (medsos), ada anak-anak yang bermain lato-lato di rumah sakit. Tentunya sangat menggangu pasien atau orang yang sedang berobat. Juga mengganggu dokter dalam memberikan pelayanan, karena terganggu suara yang bising.
“Peran orangtua yang penting dalam mendampingi. Diberikan pemahaman ke anak agar tidak menggangu orang lain, dengan bermain pada tempat dan waktu yang sesuai,” kata Ayunda.
Berasal dari Amerika
Lato-lato menjadi permainan yang tengah digandrungi berbagai kalangan. Bahkan mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Meski kini tengah menjadi tren di Indonesia, namun ternyata permainan itu sudah dimainkan sejak periode 1960-an.
Lato-lato adalah mainan tradisional yang terdiri dari sepasang bola plastic atau karet terikat tali, sehingga membentuk bandulan. Pada bagian tengah benang antara kedua bola, terdapat pegangan khusus untuk digunakan pemain ketika menggerakkan lato-lato.
Adapun cara memainkannya dengan membenturkan kedua bola berulang kali. Siapa yang memainkannya paling lama menjadi pemenangnya.
Sejarah lato-lato berasal dari Amerika Serikat. Di negeri asalnya,permainan ini disebut clackers, click-clacks, knockers atau clankers. Beberapa istilah tersebut merujuk pada benda yang sama, yakni dua bola yang dihubungkan dengan dua utas tali. Cara bermainnya persis sama sebagaimana lato-lato dimainkan di Indonesia.
Pada mulanya, clackers dibuat sebagai alat untuk mengajari anak-anak berlatih koordinasi antara tangan dan mata. New York Times menerbitkan catatan pada Agustus 1971 yang menunjukkan adanya kejuaraan dunia clackers.
Peristiwa itu berlangsung di Italia, tepatnya di Desa Calcinatello dekat Brescia. Perlombaannya diikuti banyak peserta dari berbagai Negara seperti Belanda, Belgia, Swiss, Inggris, hingga Kanada.
Namun kasus cidera akibat bermain clackers ini membuat pemerintah Amerika melarang peredaran mainan tersebut. Beberapa komunitas dan organisasi masyarakat untuk mencegah kebutaan juga mendukung keputusan itu.
Melansir website Komisi Keamanan Produk Konsumen Amerika Serikat, US Marshall pernah menyita 4.600 produk lato-lato di Pheonix, Arizona pada 6 Desember 1985. Mereka menilai permainan tersebut berbahaya karena mudah pecah dan melukai anak-anak. Selanjutnya, pelarangan lato-lato makin meluas di Amerika Serikat.
Kepopuleran lato-lato ini merambah ke Indonesia. Sekitar tahun 1990-an mainan ini popular dimainkan oleh anak-anak Indonesia.
Bentuk mainannya tidak berubah dan sama seperti di Amerika Serikat. Hanya saja bahannya tidak lagi menggunakan kaca temper melainkan pelastik polimer. Bahan ini dianggap jauh lebih aman, meski tetap berisiko pecah.
Nama lato-lato sendiri berasal dari Bahasa Bugis dan berubah menjadi katto-katto di Makassar. Sementara di Pulau Jawa permainan ini disebut tek-tek sebagaimana bunyi yang dihasilkan. (afi)