spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Belajar dari Kisruh Ajudan Gubernur Kaltim: Wartawan Perlu Difasilitasi, Bukan Dibatasi

Senin (22/7) kemarin, publik dikejutkan viralnya video dan pemberitaan soal sikap asisten pribadi Gubernur Kaltim Rudy Mas’ud yang menghalangi wartawan saat melakukan wawancara doorstop di Kantor Gubernur. Ucapan “tandai, tandai” yang dilontarkan di hadapan banyak jurnalis langsung memicu reaksi keras dari komunitas pers.

Termasuk dari kami. Sebab kejadian serupa juga dialami wartawan Media Kaltim saat meliput agenda Gubernur di Berau beberapa waktu lalu. Namun insiden kemarin tampaknya menjadi puncak kekesalan para jurnalis. Bukan hanya soal nada tinggi, tapi karena profesi wartawan diperlakukan seolah gangguan.

Saya sudah lebih dari dua dekade menjadi wartawan. Menggali informasi dari narasumber adalah bagian utama dari pekerjaan kami. Itu bisa dilakukan lewat telepon, menyambangi ruang kerja, atau menunggu berjam-jam demi satu-dua menit bertanya langsung lewat doorstop. Apalagi untuk pejabat setingkat gubernur, yang aksesnya sangat terbatas. Karena itu, momen singkat seperti doorstop menjadi sangat penting, bukan hanya untuk menggali keterangan soal agenda, tapi juga isu-isu yang relevan secara publik.

Baca Juga:   Fokus Serapan Anggaran, Komisi II RDP dengan Dinas Indagkop-UKM

Sangat disesalkan ketika justru orang terdekat dari gubernur yang bertindak semaunya. Padahal gubernurnya sendiri tidak keberatan dan tetap menjawab pertanyaan wartawan. Justru ajudannya yang membuat suasana menjadi panas. Bukannya membantu menjaga wibawa, yang terjadi justru mempermalukan.

Yang juga memprihatinkan, beberapa jurnalis di lokasi ikut merasa ditekan. Irwan dari Arusbawah.co menyebut tindakan tersebut telah merendahkan profesi jurnalis. Menurutnya, kalaupun ada pertanyaan yang dianggap tidak pantas, cukup dijawab atau dialihkan dengan baik. Tak perlu dibatasi secara sepihak. Ali dari Katakaltim.com bahkan mengaku sempat ingin bertanya, tapi akhirnya mengurungkan niat karena suasana jadi tidak kondusif. Mayang Sari dari Diswaykaltim juga menilai tindakan sang ajudan sebagai bentuk nyata penghalangan kerja jurnalistik.

Saya pribadi pernah merasakan kerasnya persaingan liputan di Jakarta. Selama enam bulan saya ditugaskan meliput proses hukum almarhum mantan Bupati Kukar, Syaukani HR. Di sana, suasana pers jauh lebih padat dan kompetitif. Tapi anehnya, hubungan kerja dengan para pejabat dan ajudannya terasa lebih sehat. Ajudan menteri atau dirjen tidak pernah bersikap seperti satpam informasi. Kalau waktunya terbatas, mereka cukup sampaikan dengan nada sopan, tidak pakai gertakan.

Baca Juga:   Junjung Netralitas, Para Jurnalis Serukan Tolak Jadi Juru Kampanye Pilkada

Untungnya, saya sendiri belum pernah mengalami perlakuan seperti yang dialami rekan-rekan wartawan kemarin. Tapi saya tahu betul rasanya dihalangi saat sedang menjalankan tugas. Dan saya tahu, ini seharusnya tidak perlu terjadi kalau semua pihak memahami batas dan tanggung jawab masing-masing.

Sikap arogan ajudan gubernur bukan hanya melukai profesi jurnalis, tapi juga merusak citra pimpinannya sendiri. Publik bisa saja menilai bahwa Pemprov Kaltim sedang menutup ruang komunikasi. Padahal, pada masa pemerintahan sebelumnya, Diskominfo pernah rutin menggelar forum bulanan yang mempertemukan media dengan gubernur atau wakilnya. Praktik semacam ini perlu dihidupkan kembali.

Jika memang ada kekhawatiran bahwa gubernur belum siap menjawab isu-isu tertentu, maka bentuk saja forum resmi. Tunjuk juru bicara. Terapkan pola jumpa pers terjadwal seperti di kementerian. Tidak semua harus dijawab langsung oleh gubernur. Bisa wakil, staf ahli, atau pejabat teknis.

Yang perlu diingat, wartawan tidak datang tanpa alasan. Pertanyaan yang diajukan bukan atas nama pribadi, melainkan rencana redaksi yang didasarkan pada kebutuhan publik. Maka sangat keliru bila ajudan atau aspri merasa berhak menyaring pertanyaan. Mereka bukan pemilik panggung. Tugasnya membantu, bukan mengatur narasi.

Baca Juga:   Buntut Isu Penggusuran Warga Pemaluan, Ratusan Mahasiswa Geruduk Kantor DPRD Kaltim

Insiden ini harusnya jadi pelajaran bersama. Jangan sampai hanya karena ulah satu dua orang di lingkaran dalam, kepercayaan publik terhadap pemimpinnya ikut rusak.

Jika Gubernur Rudy Mas’ud ingin membangun kepemimpinan yang terbuka, maka langkah awal yang paling sederhana adalah membenahi pola komunikasi dan relasi dengan media. Libatkan wartawan sebagai mitra. Buka ruang dialog. Karena jika ruang komunikasi tertutup, yang muncul bukan hanya kecurigaan, tapi juga perlawanan.

Cukup satu insiden ini jadi peringatan. Demokrasi tak bisa hidup jika ruang tanya dibungkam. Wartawan ada justru untuk menjaga ruang itu tetap terbuka. (*)

Oleh: Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.
Pemimpin Redaksi Media Kaltim

BERITA POPULER