spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Persimpangan Dilema Pilkada, Cermati Wacana Kepala Daerah Dipilih oleh DPRD

SAMARINDA – Pernyataan Presiden Prabowo Subianto pada Kamis (12/12/2024) lalu, di acara HUT ke-60 Partai Golkar memberikan tawaran baru. Ia mencoba mengajukan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tidak lagi dipilih oleh rakyat langsung.

“Negara tetangga kita efisien. Malaysia, Singapura, India, sekali milih anggota DPRD, sekali milih ya sudah DPRD itulah yang memilih gubernur, milih bupati. Nggak keluar duit, kayak kita,” sambutannya kala itu.

Tentunya berbagai respon muncul atas wacana tersebut. Ada yang pro dan ada pula yang tidak. Menurut pengamat politik dari Universitas Mulawarman, Iman Surya, wacana tersebut bukanlah hal baru.

“Kalau kita melihat sejarah masa lalu, ingat tidak eranya SBY (Susilo Bambang Yudhoyono), akhir september 2014 yang lalu. Disahkannya Undang-Undang 22 tahun 2014, tentang pemilihan gubernur atau kepala daerah,” katanya.

Sepuluh tahun lalu, Undang-Undang tersebut sah, untuk Pilkada dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Tak berselang lama, pada Oktober SBY justru mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) untuk mempertahankan Pilkada dipilih secara langsung.

Baca Juga:   Gerindra Kaltim Dukung Isran dan Rudy Mas'ud di Pilgub 2024

“Artinya dinamika ini sudah lama,” tegas Iman.

Wacana pilkada dipilih oleh DPRD lahir dari hasil evaluasi terkait pengeluaran selama Pilkada yang memakan banyak anggaran. Dari situs Badan Pengawas Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) dibeberkan anggaran Rp 30 triliun dihibahkan dari dana pemerintah daerah dan APBD sebesar Rp 974 miliar.

Iman tidak memungkiri dari sisi pembiayaan sangatlah luar biasa. Mulai dari dibentuknya penyelenggara Pilkada yaitu KPU dan Bawaslu sampai hari H pencoblosan.

Akan tetapi, biaya sebesar itu tidak sebanding dengan tingkat partisipasi masyarakat. Di Kalimantan Timur sendiri tingkat partisipasi Pilkada Serentak 2024 berada di bawah target nasional, hanya di angka 79 persen. Tidak sampai 80 persen seperti yang diharapkan.

“Kalau dilihat secara aspek demokratis, jelas tidak ada yang setuju kalau pemilihannya diambil alih oleh DPRD,” terang Iman.

Biaya yang dikeluarkan untuk Pilkada, bagi Iman, adalah konsekuensi logis untuk pemilihan yang demokratis. Ada dilema tersendiri ketika mempertahankan demokrasi langsung dengan pemilihan oleh DPRD.

Baca Juga:   Kaltim 66 Tahun, Seno Aji: Kukar Masih Butuh Penerangan

Di satu sisi, memikih kepala daerah melalui DPRD akan menghasilkan “Politik Dagang Sapi.” Dalam arti sudah diprediksi hasilnya dengan keterkaitan partai politik di dalam diri DPRD.

Di sisi lain, menciptakan politik yang bersih tanpa politik uang di kalangan masyarakat juga susah. Praktik yang tidak demokratis masih menjadi permasalahan di Pilkada.

“Jangan sampai nanti, ini (wacana pemilihan dsri DPRD) jadi hal yang blunder. Ketika kembali ke zaman sewaktu SBY menentukan. Saya khawatir justru nanti akan lebih rendah lagi partisipasi masyarakat jika diterapkan,” demikian Iman.

Pewarta : K. Irul Umam
Editor : Nicha R

BERITA POPULER