SAMARINDA— Salah satu pilar terpenting bagi kesejahteraan masyarakat adalah ekonomi. Begitu pula dengan Kalimantan Timur. Meski menjadi provinsi dengan kontribusi ekonomi paling besar se-Kalimantan, nyatanya Kaltim dihantui perusahaan-perusahaan tambang.
“Kemana hasil tambang itu? Itu perlu kita pertanyakan. 46,17 persen distribusi ya dari tambang. Miris kalau kita melihatnya,” sebut Purwadi, pakar Ekonomi dari Universitas Mulawarman.
Bukan tanpa alasan Purwadi mengatakan semacam itu, sebab dari Data Perekonomian Kalimantan 2023, Kaltim memiliki kontribusi 48,38 persen dengan pertumbuhan ekonomi 6,22 persen.
Hasil itu cukup terbilang manis, dengan nilai jual yang fantastis. Bagaimana tidak, Nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut lapangan usaha atas dasar harga berlaku dan konstan tahun 2023, tercatat angka sebesar 248 Miliar hanya dari sektor pertambangan.
“Dengan angka sebegitu besar, dampak kemasyarakat apa? Penurunan kemiskinan di Kaltim hanya 0,01 persen, itu kan sama saja tidak ada apa-apa,” imbuh Dosen Ekonomi itu.
Pada tahun 2017, dilansir dari KBR.id, Rusmadi Wongso yang saat itu masih menjabat sebagai sekretaris provinsi menyebutkan luas izin tambang di Kaltim adalah 5,2 juta hektar.
Mirisnya pada tahun tersebut 300 lubang tambang belum direklamasi, ditambah 52 perusahaan tidak menyetorkan dana reklamasi.
“Pendapatan yang ditopang oleh pertambangan, jelas itu jangka pendek. Tidak bisa kita berharap pendapatan daerah kita dengan tambang terus-menerus. Belum lagi soal dampak alam,” terangnya.
Selain pertambangan, sebenarnya Kaltim memiliki sektor pertanian, kehutanan dan perikanan yang menyumbang 6,43 persen. Kemudian industri pengolahan menyumbang 19,41 persen. Serta konstruksi yang menyumbang 8,59 persen.
“Ini merupakan tantangan untuk pemimpin Kaltim selanjutnya. Bagaimana membangun ekonomi alternatif yang tidak berpangku pada tambang,” tambah Purwadi lagi.
Menurutnya, sektor pariwisata, pertanian, perikanan dan jasa harus memiliki porsi lebih banyak dalam membangun ekonomi daerah. Masalahnya kembali lagi bagaimana langkah pemerintah memaksimalkan hal itu.
“Pariwisata misalnya, akses menuju tempatnya saja susah. Mahal lagi. Belum lagi penduduk kita yang tidak sebanyak Jawa. Pastinya PR-nya semakin banyak,” jelasnya.
Tak cukup sampai disitu, Purwadi juga menekankan kepemilikan perusahaan tambang di Indonesia. Dari 21 perusahaan tambang, hanya 1 perusahaan daerah milik negara atau BUMN.
“Selain itu, siapa yang memiliki perusahaan tambang, perumda hanya 1 dari 20. Di Kaltim, Kaltim Prima Coal jadi yang terbesar, bukan milik negara kan,” urainya.
Memang benar, KPC memiliki 59,7 persen produksi batu bara di tahun 2020. Kemudian ada pula Berau Coal Energy, Indo Tambangraya Megah, Harum Energy dan masih banyak lagi.
Purwadi-pun menganggap pemerintah perlu mengkaji ulang data-data yang dimiliki.
“Pastinya pemerintah punya data soal batu bara itu. Selama berapa tahun batu bara bisa dimaksimalkan. Harus pula dirupiahkan, seberapa kira-kira hasil perupiahan batu bara itu. Ini untuk mempersiapkan kemungkinan terburuk di masa depan,” tekan Purwadi.
Pemerintah provinsi tidak perlu merasa bangga dengan pertumbuhan ekonomi yang dimiliki Kaltim. Masa depan perekonomian Kaltim berada dalam kegetiran perihal sektor ekonomi masa depan. Apalagi beberapa negara maju mulai menghindari penggunaan batu bara yang dianggap terbatas.
Disaat negara lain berlomba mencari energi terbarukan, Kaltim juga perlu memikirkan alternatif ekonomi baru untuk jangka panjang.
“Mana hasil tambang itu untuk rakyat? Kemana dijual batu bara itu? Toh PLN sendiri sempat kesusahan pasokan batu bara. Artinya, Kaltim belum sepenuhnya mampu mengelola hasil bumi sendiri,” tutup Purwadi.
Pewarta: Khoirul Umam
Editor : Nicha R