SAMARINDA— Langit Samarinda sedang mendung saat Media Kaltim mengunjungi rumah Raditya Timur Angin di Jalan K. S. Tubun, Samarinda. Sore itu, Media Kaltim diajak bergabung mengikuti kegiatan susur gang Samarinda yang biasa rutin dilaksanakan pada hari Selasa dan Jum’at.
Gerimis tipis yang turun tidak membuat semangat remaja yang biasa disapa “Ra” itu memudar. Dengan tas kecil dan topi hijau miliknya, Ra melakukan pemanasan tipis-tipis sebelum menyusuri gang.
Ia mengaku senang berjalan kaki sambil menikmati matahari sore dan kesibukan kota Samarinda. Namun juga dirinya sedikit mengeluhkan kondisi jalanan dengan minimnya trotoar.
“Kalau jalan di sini, cuma jalanan di depan Gereja Katedral saja yang saya kira nyaman untuk berjalan kaki selama ini. Sisanya tahu sendirilah bagaimana,” ujarnya sembari mulai berjalan dari rumahnya.
Dimulai dari Jalan K. S. Tubun, Ra mengajak menyusuri jalanan yang tergenang akibat saluran yang mampet di perempatan Jalan Pasundan dan Siradj Salman. Sesampainya di Jalan Pasundan, ia mengajak masuk ke gang-gang kecil menanjak dan menurun layaknya jalan-jalan tikus.
Kegiatan susur gang Samarinda itupun mulai terasa. Sesekali kami melewati rumah-rumah warga yang saling berhimpitan, tak jarang juga jalanan semen itu licin karena gerimis.
Selama berjalan kaki, Ra bercerita bahwa jalur-jalur itu sering ia ketahui dari mas Yustinus Sapto Hardjanto, salah satu pengamat lingkungan yang terkenal di Samarinda. Biasanya Ra berjalan bersama beberapa rekan yang lain untuk mempelajari budaya urban atau juga aktifitas warga Samarinda yang jarang tersorot.
“Biasanya kalau sama mas Yus, kita diajak untuk mengenali tumbuhan-tumbuhan yang ada di lingkungan sekitar. Kita diperkenalkan jenis dan manfaatnya, tak jarang malah tentang sejarah tempat yang dilalui,” ucapnya dengan nafas yang sedikit berat kala mendaki bukit.
Media Kaltim benar-benar diajak melihat kondisi pemukiman Samarinda yang padat. Melewati satu per satu rumah di atas bukit sembari membungkuk menyapa warga yang duduk di depan rumah. Saat itu terpantau beberapa warga sibuk mencuci motor, mengobrol dengan tetangga atau santai-santai di depan rumah.
Melewati jalur-jalur sempit nan padat, mengingatkan kepada gambaran kota Rio De Janeiro di Brazil. Kota yang berada di gunung curam dengan kepadatan yang luar biasa. Sehingga mendaki bukit di daerah Pasundan itu terasa lelah, beberapa kali Ra menarik nafas namun ia tetap tersenyum sembari mengobrol. Bahkan ada gang yang harus berjalan memiringkan badan karena rumah yang letaknya terlalu berdempet.
“Jalan-jalan ini memang sempit, sudah seperti jalan tikus, tapi terasa menyenangkan. Biasanya kami juga membuka jalur-jalur baru, mencari tembusan-tembusan yang jarang sekali dijamah masyarakat Samarinda,” lanjutnya.
Mengikuti susur gang Samarinda bersama Ra terasa menyenangkan, tidak hanya olahraga akan tetapi lebih dari itu kami diajak belajar memahami sisi-sisi lain di Kota Samarinda. Ternyata Samarinda menyimpan kepadatan penduduk yang luar biasa dibalik jalanan-jalanan besar.
Tak terasa jalan kaki melewati bukit itu tiba-tiba tembus ke gang kecil di belakang Kantor Gubernur Kalimantan Timur. Kemudian Ra mengajak menyusuri jalan-jalan besar, utamanya di depan Gereja Katedral di Jalan Jendral Sudirman, Samarinda. Yang menurutnya satu-satunya jalan yang ramah untuk pejalan kaki.
“Hanya jalan ini saja yang nyaman untuk jalan kaki,” ungkap Ra.
Kemudian Ra mengajak ke Central Market Samarinda, julukan modern untuk Pasar Pagi yang dibuat bersama rekan-rekannya. Ra bercerita mengenai sejarah kota Samarinda yang dulunya pernah diduduki Belanda, meski sebentar, Belanda sempat membuat blok-blok antar jalan. Hanya saja blok-blok itu sudah tidak ada lagi.
Kurang lebih selama 1 jam, susur gang Samarinda diakhiri dengan kembali ke rumah Raditya Timur Angin. Setelah itu Ra melakukan pendingingan sambil mengobrol perihal jalan-jalan tadi yang disusuri.
“Kalau ada Mas Yustinus bisa lebih lama, ini kita cuma sejam. Biasa sampe jam 7 malam, karena kita diajak untuk mempelajari apa-apa yang ada di gang tersebut,” kata Ra dengan kaki yang merentang di lantai.
Pewarta: Khoirul Umam
Editor : Nicha R