SAMARINDA – Angka pernikahan di Indonesia mengalami penurunan. Mengutip dari Badan Pusat Statistik, jumlah pernikahan di Indonesia berada di angka 1,70 juta pada 2022. Sedangkan sepanjang 2023 hanya terdapat 1,57 juta pernikahan, yang berarti mengalami penurunan hampir 200 ribu kasus.
Menanggapi hal tersebut, anak muda Samarinda memiliki pendapat masing-masing. Salah satunya adalah mengenai uang panai yang terbilang mahal dan sulit untuk dipenuhi.
Risman (29) mengungkapkan bahwa faktor dana pernikahan yang tidak sedikit membuatnya harus menahan diri untuk menggelar pernikahan.
“Faktor dana sih yang paling besar. Karena faktor itu kita jadi mikir-mikir lagi untuk menikah,” ujar Risma saat diwawancarai pada Sabtu (9/3/2024).
Generasi hari ini melihat pernikahan sebagai perhitungan yang panjang. Tuntutan ekonomi menjadi hal utama dalam memandang pernikahan. Di saat ekonomi dirasa masih belum bisa memenuhi permintaan calon, pernikahan tidak bisa dijadikan pilihan untuk saat ini.
“Menikah kan bukan tentang hari ini aja, tetapi untuk masa depan. Masih ada uang gedung, katering, dll. Semua itu harus dipenuhi dan tidak mudah,” lanjutnya.
Wahyu (25) memiliki pendapat yang sama. Menurutnya uang panai di Samarinda terbilang cukup berat. Keinginan untuk menikah selalu ada, tetapi untuk bisa memenuhi target biaya pernikahan tentu butuh proses yang panjang.
“Secara ekonomi tidak stabil. Memenuhi uang panai itu tidak bisa instan, jadi mungkin fokusnya pada mencari uang dulu,” kata Wahyu.
Pernikahan memang bukan menjadi fokus utama generasi hari ini. Tuntutan sosial perihal karier adalah faktor lain yang harus dipertimbangkan untuk mencapai titik pernikahan. Pandangan mengenai pernikahan seharusnya bertahan pada harkat dan martabat, lebih-lebih soal gengsi.
“Fokusnya pada karier dulu. Kalau soal menikah bisa nanti. Toh orang tua juga tidak menuntut. Kalau karier saja tidak bagus, nanti bisa menjadi halangan dalam pernikahan,” imbuh Masitah (23).
Dalam pandangan Masitah, pernikahan selalu berisi banyak kekhawatiran. Soal ekonomi, pandangan sosial nantinya akan menjadi polemik setelah pernikahan. Semua itu akan terasa mengganggu kenyamanan saat mengarungi dunia pernikahan.
Di tempat yang lain, Arif Rahman (32) menganggap bahwa menikah itu soal negosiasi. Akan banyak pertimbangan bila memutuskan untuk menikah. Karena lagi-lagi ekonomi menjadi penentu pernikahan.
“Menikah itu soal negosiasi. Kalau pihak satu mau dan pihak yang lain tidak mau, malah tidak jadi nanti. Lagipula, menikah itu tidak sesederhana kelihatannya,” begitu ucap Arif.
Arif sendiri adalah pemilik kedai kopi, tidak memusingkan soal angka pernikahan. Karena usahanya lebih penting daripada harus memikirkan tetek-bengek pernikahan. Baginya, mengembangkan usahanya masih menjadi fokus utama, sedangkan pernikahan bisa difikirkan nanti.
“Bagi saya sendiri masih berfokus pada usaha. Mau menikah ya bisa nanti, yang penting usaha ini bisa jalan dulu,” pungkasnya. (umm)
Pewarta: Khoirul Umam
Editor: Agus S