spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Tolak Relokasi Pasar Subuh, Pedagang: Tempat Mencari Nafkah Kami Pak, Tolong Lihat dengan Hati Nurani

Foto: Pedagang Sayur dan Buah Pasar Subuh, Abdus Salam (53) saat mengikuti aksi demo di depan Kantor Gubernur Kaltim di Jalan Gajah Mada. (Radar Samarinda/Hadi Winata).

SAMARINDA – Suasana riuh yang diwarnai akan seruan perjuangan untuk menyuarakan aspirasi pedagang Pasar Subuh yang menolak keras terhadap wacana pemindahan tempat, yang sudah menemani selama hampir 50 rahun sebagai ladang pencarian penyambung hidup.

Perjuangan menyampaikan asa pedagang Pasar Subuh dilakukan dengan aksi damai, yang mereka harap akan terjadi serupa dengan nasib yang nampaknya sulit untuk tercapai. Pasar yang terletak di Jalan Yos Sudarso ini merupakan tempat dimana lebih dari 50 pedagang menggantungkan hidup sanak keluarga.

Menimbulkan gejolak sosial, karena selama puluhan tahun, mereka tidak menduga terjadi pemindahan. Pedagang kecil ini mengharapkan Pemerintah Kota Samarinda (Pemkot Samarinda) dapat membatalkan keputusan relokasi tempat yang sudah mendarah daging, menemani hampir dua generasi di setiap pedagang Pasar Subuh.

Salah Satu Pedagang Sayur dan Buah, Abdus Salam (53) mengatakan, pasar tersebut bukan sekadar tempat berdagang, melainkan simbol kehidupan dan perjuangan ekonomi masyarakat kecil.

Baca Juga:   Buka Puasa Bersama Media, Andi Harun Sebut Dukungan Media Penting untuk Pembangunan dan Informasi Publik

“terus terang aja, itu mata pencaharian kami. Tidak mungkin lah kami serta-merta setuju dengan relokasi itu. Kami sudah berdagang di sana selama dua dekade. Mereka (pemerintah) tidak mau melihat hati nurani kami,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Abdus Salam menjelaskan, Pemkot Samarinda bersikukuh agar seluruh aktivitas perdagangan di lokasi itu dihentikan paling lambat 4 Mei 2025, dan pedagang diminta pindah ke Pasar Dayak di Jalan PM Noor, Kecamatan Sungai Pinang.

Tak hanya itu, ia menilai bahwa pemilihan tempat relokasi ke Pasar Dayak bukanlah solusi yang ideal lantaran pedagang Pasar Dayak juga keberatan dengan mereka, karena khawatir terjadi persaingan usaha.

“Komoditasnya sama, dagangannya serupa. Tentu akan menimbulkan konflik. Mereka juga takut kami merebut pelanggan mereka,” ujarnya.

Dengan dalih penataan kota yang memberikan kenyamanan lalu lintas, namun mengorbankan nasib masyarakat. Menurut Abdus Salam, mencapai ketertiban umum tidak harus dilakukan dengan jalan memutuskan tempat untuk mendulang nafkah.

“Kami telah berdagang mulai bapak sampai dilanjutkan anak. Jadi sangat disayangkan, khususnya kami (pedagang) Pasar Subuh itu menjual barang-barangnya ikonik. Apa yang nggak ada di pasar lain, adanya di Pasar Subuh,” tuturnya.

Baca Juga:   Berkat Efisiensi, Daerah Tidak Pelrlu Membiayai Program MBG

Terlebih, Abdus Salam menerangkan bahwa lahan tempat ia berdagang selama ini adalah tanah milik pribadi yang disewa secara legal oleh para pedagang, bukan dari bagian Pemkot Samarinda.

“Kami bayar sewa tiap bulan ke pemilik lahan. Tapi tetap saja dipaksa pindah. Pemkot berdalih ini bagian dari program 100 hari wali kota, alasan lalu lintas, dan status pasar yang katanya tidak resmi,” tuturnya.

Sebelumnya, mediasi telah dilakukan untuk dapat mengetahui permasalahan yang dialami antara pedagang dan Pemkot Samarinda. Namun, pedagang mengaku merasa diintimidasi dan ditekan untuk segera pindah.

“Semua ini terkesan sepihak. Pemkot hanya menyarankan relokasi, tapi tidak memberikan solusi konkret, apalagi bantuan adaptasi. Kami yang disuruh pindah, kami juga yang disalahkan kalau nanti menimbulkan gesekan di tempat baru,” pungkasnya.

Penulis: Hadi Winata
Editor: Andi Desky

BERITA POPULER