KITA harus jujur mengakui: Jalan Tol Balikpapan–Samarinda (Balsam) belum layak disebut aman. Tol sepanjang 99,35 kilometer yang terbagi dalam lima seksi ini diresmikan pada 24 Agustus 2021 oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Digadang-gadang sebagai penghubung strategis menuju Ibu Kota Nusantara (IKN), tol ini bahkan kini tengah disambungkan dengan jaringan tol IKN yang masih dalam tahap konstruksi.
Namun, realitas di lapangan jauh dari ekspektasi. Alih-alih memberikan kenyamanan, tol ini justru lebih sering membuat pengendara waswas, bukan karena kecepatan, melainkan karena kondisi jalan yang rawan dan membahayakan.
Saya termasuk pengguna rutin. Termasuk terakhir melintasi pada Kamis, 22 Mei 2025. Sejak tol ini beroperasi, saya hampir tidak pernah lagi melewati jalur Bukit Soekarno. Sebab, waktu tempuh yang semula sekitar tiga jam kini bisa dipangkas menjadi hanya satu setengah jam.
Namun, tiap kali melintas, saya harus bersiap bukan hanya dengan saldo e-toll, tapi juga dengan kesiapan mental. Jalan bergelombang, permukaan aspal tak rata, bahkan ada yang ambles di beberapa titik. Mobil yang melaju di atas 100 km/jam bisa tiba-tiba oleng jika pengemudi tidak waspada. Ini bukan sekadar cerita. Ini fakta. Dan jangan lupa, ini jalan tol, bukan arena uji nyali.
Tarifnya pun tidak murah. Untuk kendaraan Golongan I (jenis sedan, jip, pikap, truk kecil), tarif dari Manggar ke Simpang Jembatan Mahkota 2 bisa mencapai Rp146.500. Tapi yang dibayar tidak sebanding dengan rasa aman yang diterima.


Beberapa titik memang sudah diperbaiki, tetapi sifatnya hanya tambal sulam. Tidak ada perbaikan menyeluruh yang menjawab akar persoalan. Padahal, tol ini merupakan akses utama menuju pusat pemerintahan baru Ibu Kota Nusantara (IKN).
Dan ini bukan keluhan tanpa dasar. Sejak 2021, berbagai kecelakaan terus terjadi. Pada 8 April 2021, mantan calon Wali Kota Samarinda, Zairin Zain, menabrak pembatas jalan di KM 53 karena mengantuk. Kemudian, pada 20 Mei 2022, bus Pulau Indah Jaya pecah ban dan keluar jalur di KM 70.
Puncaknya terjadi pada April 2024, dua kecelakaan beruntun di KM 55 dan KM 77 menewaskan tiga orang, dua akibat pecah ban, satu karena sopir mengantuk.
Terbaru, pada 26 Februari 2025, mobil Nissan menabrak truk di KM 64 dan menyebabkan satu korban kritis. Pola penyebabnya nyaris selalu sama: kelelahan, pecah ban, dan kecepatan tinggi. Tapi satu hal yang tidak bisa dipungkiri, kondisi jalan ikut memperparah risiko.
Yang juga harus menjadi perhatian adalah jalan pendekat menuju pintu masuk tol. Khususnya dari arah Jembatan Ahmad Amins (Jembatan Mahkota II) di Samarinda.
Beberapa titik di jalur ini mengalami kerusakan parah dan amblas sejak beberapa tahun terakhir. Hingga hari ini, hanya tambal sulam, dan belum ada penanganan yang serius.
Padahal, ini merupakan akses utama warga untuk masuk tol. Ironis, bahkan sebelum masuk ke jalan tol, pengguna sudah lebih dulu “disambut” kerusakan di jalan pendekatnya.
Fasilitas istirahat? Hanya tersedia dua rest area: di KM 36 arah Samarinda dan KM 37 arah Balikpapan. Selebihnya, pengemudi dibiarkan bertaruh nyawa.
Bandingkan dengan Tol Trans-Jawa yang pernah saya lintasi dari Surabaya ke Probolinggo, bahkan hingga ke Madiun.
Marka jalan jelas, jalur mulus, dan manajemen lalu lintas tertib. Tapi di Balsam, pengguna justru disuguhi jalan rusak dan risiko yang tak kunjung ditangani.
Sudah cukup! Pemerintah dan pengelola tol harus melakukan audit menyeluruh. Benahi secara total. Pastikan jalan ini sesuai standar jalan tol nasional.
Jangan hanya bangga soal panjang jalan atau pencapaian investasi, tapi menutup mata atas nyawa-nyawa yang terus terancam.
Kami tidak menuntut tol gratis. Tapi kami berhak mendapatkan jalan yang aman dan layak. Kami membayar untuk kecepatan, bukan untuk kecelakaan.
Kami ingin kenyamanan, bukan ketegangan. Dan kami, sebagai warga yang taat membayar berhak pulang ke rumah dengan selamat.(*)
Oleh: Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.
Pemimpin Redaksi Media Kaltim