SAMARINDA – Baik Pasangan Calon (Paslon) Isran Noor dan Hadi Mulyadi maupun Rudy Mas’ud dan Seno Aji, keduanya mengenakan pakaian dengan warna yang menyimbolkan mereka. Isran-Hadi misalnya, secara konsisten mengenakan kemeja putih, terakhir saat mendatangi Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kalimantan Timur pada Senin (23/9/2024) dalam acara pencabutan nomor urut pasangan.
Begitupun paslon Rudy-Seno yang tetap mengenakan kemeja biru muda dari tahapan pendaftaran hingga pencabutan nomor urut paslon. Kedua pasangan tersebut seperti memberikan identitas mereka m
Tak luput dari perhatian pengamat perihal simbolisasi tersebut. Tino Tindaengan, filsuf sekaligus Pengamat Politik Kaltim, menjelaskan bahwa ada beberapa alasan serta sudut pandangan yang ingin disampaikan melalui warna.
“Untuk paslon nomor 2, mereka melanjutkan tradisi sebelumnya, (Prabowo-Gibran di Pilpres) yang terbukti menang. Sedangkan paslon nomor 1 mengenakan baju putih bisa dimaknai sebagai warna yang netral,” terangnya.
Putih juga dimaknai di tradisi sebagai warna yang suci, bersih, baik, dan sepaket dengan pencitraan. Menurut Tino, Isran-Hadi ingin menunjukkan kalau mereka merupakan paslon yang matang. Dalam semiotika, warna disebutkan, semakin terang, semakin tidak terikat dengan kepentingan.
“Kepentingan biasanya diidentikkan dengan warna yang berbeda-beda, jadi putih bisa diartikan tidak adanya keterikatan sekaligus bisa menerima perbedaan,” lanjutnya.
Sedangkan bagi paslon Rudy-Seno, warna biru muda dekat dengan anak muda. Sebagaimana saat Prabowo-Gibran memenangkan kontestasi Pilpres dengan target anak muda. Ditambah pula sudah seperti warna wajib Koalisi Indonesia Maju (KIM).
“Dalam semiotika, warna menjadi diferensiasi, dalam arti dengan ketokohan figure. Warna biru muda itu dekat dengan warna anak muda. Sehingga yang mendekati pemilih muda secara simbolis adalah kubu Rudy-Seno,” katanya.
Memang, pada pemilihan gubernur (Pilgub) kali ini, ada dua generasi yang menjadi tolak ukur kemenangan, yaitu generasi milenial dan generasi zet. Yang mana, kedua generasi tersebut setiap tahunnya semakin banyak mengikuti pemilihan.
Warna sebagai diferensiasi, menunjukkan kepentingan setiap paslon. Tino menganggap kajian semiotika warna paslon tidak bisa diremehkan, sebab politik juga ada hubungannya dengan aspek psikologis. Warna, bisa saja mempengaruhi alam bawah sadar pemilih dalam menentukan pilihan.
“Meski warna biru muda dekat dengan anak muda, namun bias untuk anak muda lokal. Jadi anak muda lokal bisa saja melihat warna putih yang dikenakan Isran-Hadi sebagai warna yang cenderung dewasa,” urainya.
Tentu saja urusan warna tidak cukup intens mempengaruhi fikiran pemilih, sayangnya pemilihan warna yang tidak tepat dengan visi-misi paslon justru bisa menghasilkan penilaian yang berbeda. Bagi Tino, objek yang salah dengan warna yang salah bisa ditafsirkan secara berbeda. Semisal, warna traffic light tiba-tiba diubah menjadi ungu atau coklat, akan ada ketergangguan psikologis nantinya.
Lebih lanjut, Tino menerangkan, sebenarnya warna putih dan “Kaltim berdaulat” milik Isran-Hadi, cukup jauh dari anak muda. Karena putih atau kata “Berdaulat” bukanlah bahasa sehari-hari di kalangan anak muda.
“Dugaan saya, paslon nomor satu lebih mengincar pemilih yang umum,” tekannya.
Sedangkan dengan pemilihan warna dari paslon Rudy-Seno cukup riskan. Dikarenakan pemilih muda di mata Tino Tindaengan, bukanlah pemilih yang setia sebab anak muda juga labil sifatnya.
“Kelihatan sebenarnya, 01 lebih mengandalkan yang tradisional (umum) karena lebih stabil. Sebaliknya, 02 lebih mengandalkan kebaruan anak muda,” lanjutnya.
Demikian, pada akhirnya pemilih itu adalah masalah data. Secara electoral demokrasi merupakan masalah angka. Sehingga secara sistematika bagaimana setiap paslon meraup angka sebanyak-banyaknya.
“Jadi membaca psikologi dan sejarah itu penting, tak kalah pentingnya, bisa kah setiap paslon mengonversi itu menjadi angka, setidaknya masih ada dua bulan untuk setiap paslon menggaet suara,” tutup Tino.
Pewarta: K. Irul Umam
Editor: Nicha R