Belakangan, kebijakan pro rakyat mulai terlihat di permukaan. Gratispoll untuk pendidikan sudah diluncurkan, daftar penerima umrah dan perjalanan religi bagi umat non-muslim juga diumumkan. Kini giliran pembagian seragam gratis untuk siswa baru SMA, SMK, dan SLB negeri.
Antusiasme pun bermunculan. Tapi, seperti biasa, yang di atas terlihat semangat, yang di bawah kebingungan.
Surat Edaran Nomor 100.3.4/17701/Disdikbud.III yang dirilis Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kaltim menyatakan bahwa sekolah dilarang menjual seragam, baik langsung maupun melalui perantara. Termasuk melarang sekolah mengarahkan pembelian ke toko tertentu. Plt Kepala Disdikbud Kaltim, Armin, menegaskan, kalau ada sekolah atau oknum yang melanggar, apalagi sampai memaksa orang tua, bisa dikenai sanksi. “Ini sudah kami wanti-wanti,” tegasnya.
Langkah ini diklaim sebagai bagian dari program prioritas gubernur dan wakil gubernur dalam menciptakan layanan pendidikan yang bersih, adil, dan merata. Disdik juga menyampaikan bahwa siswa boleh memakai seragam lama, bahkan seragam warisan atau pinjaman dari kakak kelas. “Yang penting jangan sampai ada siswa yang tidak sekolah hanya karena tidak punya seragam. Bisa pakai yang ada dulu, disesuaikan warnanya, tidak harus lengkap, apalagi gonta-ganti setiap hari,” kata Armin.
Secara prinsip, kebijakan ini patut diapresiasi. Tapi apakah hanya dengan larangan dan imbauan masalahnya selesai?
Sejak edaran ini keluar, redaksi Media Kaltim justru banyak menerima pertanyaan dari orang tua murid. Mayoritas menanyakan hal yang sama: “Seragam apa saja yang benar-benar diberikan gratis?” dan “Kalau seragam praktik SMK hanya tersedia di koperasi sekolah, kami harus beli di mana?”
Laurens, orang tua siswa dari Balikpapan, menuliskan, “Sekolah memang tidak memaksa beli di koperasi. Tapi kenyataannya, seragam praktik jurusan cuma tersedia di sana. Kami tetap beli, walau harga tidak murah.”
Keluhan serupa datang dari Sangatta. Seorang ibu mengaku harus mengeluarkan lebih dari satu juta rupiah hanya untuk membeli seragam batik sekolah, pakaian olahraga, dan atribut lain. Semuanya dijual koperasi sekolah, dengan alasan “standar identitas sekolah”.
Masalahnya bukan pada niat pemerintah, tapi pada teknis di lapangan. Seragam gratis yang dibagikan tahun ini hanya mencakup putih abu-abu, tas, dan sepatu. Itu pun terbatas untuk siswa baru kelas X di SMA/SMK/SLB negeri, karena APBD 2025 telah disusun sebelum pelantikan gubernur dan wakil gubernur. “Insya Allah tahun ini sudah mulai diberikan, tapi belum maksimal. Kita masih sesuaikan dengan kondisi keuangan. Tahun depan (2026) baru bisa menyentuh semua tingkatan,” jelas Armin.
Pertanyaannya, bagaimana dengan kebutuhan lain yang tidak masuk paket seragam gratis? Seragam praktik kejuruan, batik sekolah, baju olahraga, hingga topi dan sabuk berlogo sekolah—semua tidak tersedia di pasar umum. Orang tua tetap harus mencari sendiri, dan hampir pasti kembali ke koperasi sekolah.
Di sinilah kerancuan muncul. Di satu sisi sekolah dilarang menjual seragam, di sisi lain orang tua tetap tidak punya pilihan. Meski dilarang menjual, koperasi sekolah tetap jadi satu-satunya sumber seragam khas yang dibutuhkan siswa. Hanya saja, kali ini tak boleh diumumkan secara terang-terangan. Ini seperti memadamkan api di permukaan, tapi membiarkan bara tetap menyala di bawahnya.
Kalau pemerintah ingin penataan yang adil, sampaikan secara gamblang: mana yang ditanggung dan mana yang tidak. Kalau koperasi masih dibutuhkan, benahi dan awasi, bukan dimatikan lalu dibebaskan tanpa pengawasan. Tetapkan harga eceran tertinggi, pastikan kualitas, dan buka proses pengadaan secara transparan.
Saya tidak sedang membela sekolah. Tapi saya membela realitas. Orang tua berhak mendapat informasi yang jujur dan tidak menyesatkan. Jangan sampai demi menjaga citra “pendidikan gratis”, justru beban itu dialihkan diam-diam kepada keluarga siswa.
Saya mendukung langkah membersihkan sekolah dari pungli. Tapi kebijakan yang baik bukan sekadar larangan, melainkan kejelasan yang bisa dijalankan. Kalau memang belum bisa gratis sepenuhnya tahun ini, sampaikan saja terus terang. Yang dibutuhkan masyarakat bukan janji manis, tapi kepastian.
Anak-anak kita butuh ruang belajar yang tenang, bukan dibebani urusan seragam yang tak jelas ujungnya. Pemerintah harus hadir, bukan hanya lewat surat edaran, tapi lewat mekanisme yang berpihak dan bisa diawasi bersama.
Jika pemerintah mengajak rakyat ikut mengawasi, maka pastikan pula rakyat diberi informasi yang jujur dan lengkap.(*)
Oleh: Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.