Samarinda Central Plaza (SCP) sedang bersolek. Di saat banyak mal di berbagai kota menghadapi penurunan daya beli, bahkan sebagian stagnan meski ramai pengunjung, SCP justru melangkah berani. Renovasi besar-besaran dimulai. Bukan sekadar cat ulang atau ganti keramik, tapi transformasi total—tampilan luar dan dalam dirombak.
Eskalator ditambah. Nuansa arsitektur menyesuaikan zaman. Proyek ini digarap PT NSC (Nusantara Sinar Cemerlang), kontraktor yang juga baru menyelesaikan pembangunan gedung baru Rumah Sakit Dirgahayu Samarinda.
Desain barunya terlihat jauh lebih progresif. Fasad luar dihiasi panel vertikal bergelombang, diselingi taman vertikal yang menyegarkan mata. Kesan pertama: modern, bersih, dan berani tampil beda.
Bagian dalam atrium menampilkan desain terbuka dengan limpahan cahaya alami. Jalur sirkulasinya lapang, menciptakan kenyamanan bagi pengunjung yang kini tak sekadar datang untuk berbelanja, tapi juga menikmati suasana.

Wali Kota Samarinda, Andi Harun, hadir langsung saat seremoni peletakan batu pertama, 23 Juli 2025 lalu. Ia menyebut proyek ini sebagai revolusi, bukan sekadar renovasi.
Saya sepakat, SCP memang bukan mal baru. Berdiri sejak 2001, saat saya masih kuliah semester 7 di Fakultas Kehutanan (Fahutan) Universias Mulawarman. Ini adalah mal pertama di Kota Tepian yang menghadirkan bioskop, tempat pertama kali warga Samarinda merasakan pengalaman menonton di XXI. Dua dekade kemudian, SCP memilih untuk tetap hidup, bukan sekadar dikenang lalu dilupakan.
Tantangan mal saat ini bukan soal jumlah pengunjung, tapi soal kualitas kunjungan. Ramai belum tentu laku. Istilah “Rojali” (rombongan jarang beli) jadi fenomena umum: datang ke mal, foto-foto, duduk-duduk, tapi dompet tetap aman.
Laporan Snapcart menyebutkan, hanya 40 persen masyarakat Indonesia yang rutin ke mal, dan dari itu, hanya sepertiga yang benar-benar belanja.
Fenomena ini mulai merambah ke kota-kota di Kaltim seperti Samarinda dan Balikpapan. Kalau mal hanya jadi tempat nongkrong tanpa ada perubahan, lama-lama akan sepi. SCP sadar akan hal itu dan memilih bertransformasi sebelum ditinggal pengunjung.
Namun, proyek sebesar ini tentu tak lepas dari tanggung jawab. Mal tetap buka selama renovasi. Keselamatan pengunjung dan pekerja tak boleh diabaikan.
Kita masih ingat, April tahun 2024, sebuah mobil terbakar di parkiran lantai dua SCP. Asap mengepul, pengunjung panik. Untung tak ada korban. Tapi itu cukup jadi peringatan. SOP keselamatan harus diperbarui.

SCP bukan sekadar mal. Ia sudah menjadi bagian dari kehidupan warga Samarinda. Tempat orang menonton film, bertemu teman lama, atau sekadar istirahat. Keputusan bersolek bukan cuma soal bisnis, tapi juga langkah untuk memperbaiki tempat yang masih dibutuhkan warga.
Jika proyek ini berhasil, SCP bisa menjadi bukti bahwa ruang publik tak selalu harus dimulai dari nol. Bangunan lama masih bisa diperbarui dan dihidupkan kembali. Samarinda membutuhkan tempat yang bukan hanya menarik secara visual, tapi juga nyaman untuk dikunjungi dan aman setiap waktu.
Tanpa pengelolaan yang serius, gedung sebagus apa pun hanya akan jadi tempat singgah sementara, tak berkesan, dan cepat ditinggalkan. (*)
Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.