Foto: Menteri Kebudayaan RI, Fadli Zon saat menyampaikan materi kuliah umum di UMKT, Samarinda. (Hadi Winata/Radar Samarinda)
SAMARINDA – Negara Republik Indonesia merupakan negara yang kaya akan kebudayaan dan sejarah, yang dalam perjalanannya perlu dilakukan dokumentasi penulisan nilai-nilai yang ada dan terkandung didalamnya. Untuk itu Pemerintah Pusat melalui Kementerian Kebudayaan tengah menggarap proyek besar penulisan ulang sejarah nasional Indonesia.
Meski menuai pro dan kontra, langkah strategis ini, menurut Fadli Zon selaku Menteri Kebudayaan RI sangat diperlukan dan sifatnya mendesak. Terlebih, banyaknya penemuan terbaru mendorong pihaknya untuk menata kembali sejarah Negara Indonesia.
Dalam kunjungannya ke Kalimantan Timur (Kaltim) pada Jumat (30/5/2025), Fadli Zon menyebut bahwa narasi sejarah Indonesia perlu disegarkan, mengingat kali terakhir sejarah nasional ditulis secara resmi adalah lebih dari dua dekade lalu saat era Presiden B.J. Habibie.
“Sudah 26 tahun kita tidak memperbarui sejarah nasional. Bahkan sejarah pemilu yang merupakan tonggak demokrasi kita, belum pernah ditulis dalam buku sejarah resmi. Kita terakhir menulis pada tahun 1997, padahal pemilu sudah berulangkali kita lakukan hingga saat ini,” ujar Fadli saat berdialog dengan awak media.
Menurut Fadli, penulisan ulang ini bukan sekadar menambahkan babak baru dalam sejarah, melainkan juga menyempurnakan pemahaman lama berdasarkan temuan-temuan terbaru.
Dirinya mencontohkan situs bongal di Sumatera Utara yang membantah fakta sejarah terakhir yang menyatakan pengaruh Islam di Indonesia mulaj masuk di abad ke-13 Masehi. Sedangkan, situs tersebut menunjukkan kehadiran Islam di Nusantara telah ada sejak abad ke-7 Masehi .
“Ini memperkuat apa yang dahulu diyakini oleh Buya Hamka dan para ulama NU. Artinya, narasi sejarah yang kita ajarkan harus mengikuti perkembangan riset ilmiah,” ungkapnya.
Tak hanya soal kronologi masuknya agama, Fadli juga menekankan perlunya penekanan pada perjuangan rakyat dalam melawan penjajahan, bukan hanya mencatat lamanya masa kolonial.
“Setiap daerah punya cerita perjuangannya sendiri. Dari Kalimantan, Sumatera, Maluku, Papua, hingga Jawa, semua punya kontribusi dalam perlawanan terhadap penjajahan. Ini harus ditampilkan secara adil,” tegas Fadli.
Dalam menjalankan proyek ini, Kementerian Kebudayaan RI melibatkan 113 sejarawan dari sekitar 40 perguruan tinggi di Seluruh Indonesia. Fadli memastikan bahwa proses penulisan dilakukan secara ilmiah dan objektif, termasuk melibatkan akademisi dari Kaltim.
“Proyek ini melibatkan Para sejarawan dari berbagai penjuru negeri menulis berdasarkan keahlian mereka. Tidak perlu khawatir soal objektivitas,” pungkasnya.
Penulis: Hadi Winata
Editor: Andi Desky