SAMARINDA – Menjelang Iduladha 1446 Hijriah, penjualan hewan kurban di Kalimantan Timur mengalami penurunan signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Sejumlah pedagang mengeluhkan lesunya pembeli, bahkan ada yang menyebut penurunan mencapai 50 persen dari total penjualan tahun lalu.
Rahman, seorang pedagang sapi dan kambing di Samarinda, mengaku hanya mampu menjual sekitar 50 ekor sapi tahun ini. Padahal tahun-tahun sebelumnya, ia bisa menjual hingga 70 hingga 80 ekor.
“Ya, Alhamdulillah ada saja yang dibeli, Mas. Cuma memang agak menurun dari tahun kemarin. Setiap tahun menurun ini,” jelasnya kepada Media Kaltim saat diwawancarai, Kamis (5/6/2025).
Ia sendiri membawa hewan ternak dagangannya dari Sulawesi sekitar 120-an ekor, sudah termasuk dengan kambing dan sapi. Harga yang ditawarkan , kata Rahman, tidak jauh berbeda dengan tahun lalu. Sapi dijual di kisaran Rp13 juta – Rp30 juta per ekor, tergantung ukuran. Sementara kambing dipasarkan mulai Rp3,5 juta per ekor.
Meski harga relatif stabil, Rahman mengaku tetap merugi akibat biaya operasional yang besar, termasuk pemeriksaan kesehatan hewan yang menjadi syarat wajib sebelum diperjualbelikan.
“Memang turun, Mas. Padahal modal kami cukup besar. Tidak tahu juga kenapa. Bisa jadi karena Iduadha-nya yang di tengah tahun atau memang masyarakat yang kesulitan untuk beli,” lanjutnya.
Berbeda dengan keluhan para pedagang, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan (DPKH) Kaltim justru menyatakan saat ini Kaltim mengalami surplus hewan kurban. Menurut Kepala DPKH Kaltim, Fahmi Himawan, kebutuhan hewan kurban jenis sapi tahun ini mencapai 16.890 ekor, sementara ketersediaannya mencapai 24.834 ekor, sehingga terdapat surplus 7.944 ekor.
“Memang ada penurunan kebutuhan sapi 1.000 ekor dibandingkan tahun lalu. Kemungkinan ada perubahan tren di masyarakat, di mana minat terhadap kambing dan domba justru meningkat,” ujarnya.
Selain itu, lanjut Fahmi, masyarakat lebih banyak membeli kambing dan domba dibandingkan dengan sapi.
Pernyataan tersebut menuai kritik dari pengamat ekonomi Universitas Mulawarman, Purwadi, yang menilai pernyataan pemerintah sebagai bentuk pembenaran semata terhadap kondisi ekonomi yang sebenarnya sedang melemah.
“Mencari pembenaran saja itu, seolah ekonomi kita baik-baik saja. Padahal sedang drop secara pertumbuhannya. Mungkin pemerintah malu jika nanti dibilang gagal,” tekannya saat diwawancarai oleh Media Kaltim melalui pesan WhatsApp.
Purwadi mengutip data dari Tempo yang menyebutkan daya beli masyarakat Indonesia turun sebesar 10 persen, atau setara Rp27 triliun. Penurunan ini, menurutnya, sangat mempengaruhi keputusan masyarakat dalam berkurban.
“Ekonomi Kaltim turun di kuartal I tahun 2025, dari 7 persen ke 4 persen bahkan hampir ke 3 persen,” sebutnya.
Selain itu, Indonesia kali ini juga dibayang-bayangi deflasi ketiga kalinya. Yaitu harga pasaran turun namun daya beli masyarakat tetap tidak meningkat. Akhirnya dengan untung yang tak seberapa, produk-produk dipaksakan untuk laku.
Suatu alarm menjadi pertanda di Iduadha tahun ini. Betapa kemudian penjualan dari segi hewan kurban saja menurun namun dianggap sebagai surplus.
Kondisi kali ini semakin parah, Purwadi mengklaim lebih parah daripada era Covid-19 sebelumnya, sekitar tahun 2020-an.
Dari berbagai sumber, lima tahun belakangan Indonesia masih terbilang cukup stabil secara ekonominya. Meskipun sempat pula mengalami penurunan demi penurunan. Akan tetapi segala kemungkinan bisa saja terjadi, melihat daya beli masyarakat terus menurun.
Pewarta: K. Irul Umam
Editor: Nicha R