SAMARINDA – Banjir yang kembali melanda Kota Samarinda dalam beberapa hari terakhir menjadi sorotan berbagai pihak. Pengamat Kebijakan Publik Universitas Mulawarman, Saiful Bachtiar, menilai bahwa meskipun pemerintah telah melakukan berbagai upaya, seperti pembangunan kolam retensi dan perbaikan drainase, namun banjir tetap terjadi.
Saiful menyoroti bahwa persoalan banjir di Samarinda bukanlah masalah baru. Isu ini selalu muncul dalam setiap Pilkada sejak 2005, di era kepemimpinan almarhum Ahmad Amin.
Hingga kini, meski ada kemajuan dalam penanganannya, banjir tetap menjadi permasalahan utama yang belum tuntas.
Menurutnya, terdapat dua jenis banjir yang terjadi di Samarinda. Pertama, banjir akibat genangan sementara setelah hujan lebat, yang masih banyak terjadi meskipun beberapa titik sudah berkurang.
Kedua, banjir menggenang dalam waktu lama, seperti yang terjadi saat ini. Pada periode pertama kepemimpinan Wali Kota Andi Harun (2020–2024), banjir jenis ini sempat berkurang, tetapi kini kembali terjadi.
Saiful mengungkapkan faktor utama yang perlu mendapat perhatian serius adalah pengelolaan Waduk Benanga.
Pembukaan pintu air waduk, baik secara perlahan maupun signifikan, dapat berdampak besar terhadap wilayah di sekitar Sungai Karangmumus.
Oleh karena itu, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ini menekankan pentingnya optimalisasi waduk melalui pendalaman, perluasan, serta perlindungan ketat terhadap area di sekitarnya.
Ia juga menyoroti dampak dari alih fungsi lahan di daerah resapan air. Banyak kawasan rawa atau “rapak” yang seharusnya menjadi tempat tampungan air justru diuruk dan dijadikan permukiman.
Hal ini mempersempit ruang resapan dan memperparah banjir. Dengan kondisi ini, Saiful menilai penanganan banjir di Samarinda masih belum optimal.
Ia berharap pemerintah lebih tegas dalam menata tata ruang dan menjaga kawasan resapan air agar masalah banjir dapat tertangani secara lebih efektif.
Penulis: Hanafi
Editor: Nicha R