SAMARINDA — Pengamat Ekonomi Universitas Mulawarman, Purwadi Purwoharsojo, menilai kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 6,5 persen sebagai langkah moderat dari pemerintah Republik Indonesia yang dipimpin Presiden Prabowo Subianto.
Namun, ia mengingatkan kebijakan ini menjadi tantangan berat bagi pengusaha, terutama dengan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025 mendatang.
“Angka 6,5 persen ini memang moderat jika dibandingkan dengan permintaan buruh yang mencapai 10 hingga 25 persen. Tapi, bagi pengusaha, ini pukulan berat, apalagi jika kenaikan PPN 12 persen direalisasikan tahun depan,” ujar Purwadi saat dihubungi Media Kaltim Selasa (3/12/2024).
Menurut Purwadi, kenaikan UMP akan menambah biaya operasional pengusaha, yang sudah tertekan oleh berbagai faktor ekonomi lainnya.
Rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen juga diperkirakan akan memicu kenaikan harga barang dan jasa, yang pada akhirnya berimbas pada daya beli masyarakat.
“UMKM bisa kena dan semua jenjang usaha pasti kena dampak PPN 12 persen. Konsumen yang akan kena harga barang sampai di tangan mereka akan lebih mahal jadi efek domino nya bisa kemana-mana mas,” katanya.
Bagi pengusaha, ini adalah pukulan ganda, Mereka harus mengeluarkan lebih banyak untuk membayar upah, sementara biaya operasional dan beban pajak juga meningkat. Akibatnya, margin keuntungan bisa semakin tergerus.
“Ini ibarat main tinju, kena Kombinasi pukulan uppercut kanan dan hook kiri,” ujarnya.
Purwadi juga memperingatkan bahwa kombinasi kenaikan UMP dan PPN dapat berdampak pada sektor usaha kecil dan menengah (UMKM).
“UMKM yang rentan akan paling terdampak. Biaya produksi naik, tapi mereka tidak bisa begitu saja menaikkan harga jual karena daya beli konsumen terbatas,” tambahnya.
Purwadi turut menyoroti kebijakan subsidi listrik bagi pelanggan daya 1.300 VA ke bawah yang dijanjikan pemerintah sebagai stimulus ekonomi.
Menurutnya, implementasi kebijakan ini masih menghadapi banyak tantangan teknis dan administratif.
“Tidak semua pelanggan 1.300 VA itu layak mendapat subsidi, karena ada yang menggunakan sistem prabayar. Belum lagi, bagaimana memastikan subsidi ini tepat sasaran? Ini memerlukan waktu dan data yang akurat,” katanya.
Ia juga mencontohkan potensi ketimpangan, seperti pada pengusaha kos-kosan yang bisa mendapat subsidi meskipun sebenarnya memiliki pendapatan yang cukup besar.
“Hal seperti ini harus diantisipasi agar kebijakan tidak salah sasaran,” ujarnya.
Kurangnya Musyawarah Tripartit dalam Keputusan Kenaikan UMP
Purwadi, menyoroti kurangnya pelibatan mekanisme tripartit dalam pengambilan keputusan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 6,5 persen.
Menurutnya, keputusan sepenting ini seharusnya melibatkan perwakilan tiga pihak, yaitu buruh, pengusaha, dan pemerintah, yang telah menjadi dasar pengambilan keputusan terkait ketenagakerjaan selama puluhan tahun.
“Tripartit ini bukan sekadar formalitas, melainkan mekanisme yang sudah lama digunakan untuk memastikan semua pihak memiliki suara dan keputusan yang diambil benar-benar adil. Namun, pada kenaikan UMP kali ini, kesan yang muncul adalah keputusan diambil sepihak oleh pemerintah tanpa diskusi yang memadai,” ujar Purwadi.
Purwadi menjelaskan forum tripartit merupakan fondasi dari hubungan industrial yang sehat dan harmonis.
Melalui musyawarah tripartit, buruh dan pengusaha dapat menyampaikan aspirasi serta keberatan mereka, sementara pemerintah bertindak sebagai penengah yang memfasilitasi kesepakatan.
“Tripartit ini bukan hanya soal teknis, tapi juga soal kepercayaan. Ketika buruh dan pengusaha merasa didengar, maka keputusan yang dihasilkan akan memiliki legitimasi yang lebih kuat,” katanya.
Purwadi juga mengingatkan bahwa pelibatan tripartit menjadi semakin penting dalam situasi ekonomi yang penuh tantangan seperti saat ini.
“Ketika ekonomi sedang sulit, keputusan sepihak justru berpotensi memperlebar ketegangan antara buruh dan pengusaha. Itu sebabnya musyawarah harus dilakukan untuk mencari solusi terbaik bagi semua pihak,” jelasnya.
Purwadi mendorong pemerintah untuk kembali mengedepankan mekanisme tripartit dalam kebijakan ketenagakerjaan ke depan. Ia menyarankan agar pemerintah mengadakan pertemuan lanjutan dengan melibatkan perwakilan buruh dan pengusaha, guna memperkuat legitimasi keputusan yang telah diambil.
Menurutnya, pemerintah harus lebih kreatif jangan cuma galisumber dana untuk mengisi kantong – kantong dalam APBN atau APBD, tapi harus cari celah lain yang tidak membebani publik dan para pelaku usaha, dengan salah satunya pajak uper class orang kaya seperti tax ratio kita bisa naik dari 9 persen ke 10 , 11 persen atau di atas itu supaya rakyat bisa lebih sejahtera.
“Masih ada waktu untuk memperbaiki proses ini. Pemerintah perlu menjelaskan secara transparan alasan kenaikan UMP 6,5 persen kepada semua pihak. Selain itu, pertemuan tripartit juga harus digelar secara rutin untuk membahas kebijakan lainnya, termasuk kenaikan PPN dan dampaknya pada dunia usaha,” pungkasnya.
Penulis: Hanafi
Editor: Nicha R