spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

DPD RI Kaltim Nilai Pemisahan Pemilu Rawan Langgar Konstitusi, Dorong Solusi dari DPR RI

Foto: Ketua Komite I DPD RI asal Kalimantan Timur, Andi Sofyan Hasdam. (Hadi Winata/Radar Samarinda)

 

SAMARINDA – Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu daerah menuai reaksi dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia. Ketua Komite I DPD RI asal Kalimantan Timur, Andi Sofyan Hasdam, menilai kebijakan ini berpotensi menimbulkan persoalan konstitusional baru, khususnya terkait masa jabatan kepala daerah.

Sofyan menjelaskan, jika pemilu kepala daerah digelar dua setengah tahun setelah pemilu nasional, maka kepala daerah terpilih akan menjabat selama tujuh setengah tahun. Hal ini dinilainya berpotensi bertentangan dengan Pasal 18 UUD 1945 yang menyebutkan pemilu harus dilaksanakan setiap lima tahun.

“Intensinya mungkin baik, yaitu meringankan beban penyelenggara pemilu. Tapi kalau konsekuensinya melanggar UUD 1945, ini tentu jadi persoalan serius. DPR RI perlu segera mencarikan solusi,” tegasnya, Selasa (5/8/2025).

Putusan MK tersebut, yang salah satunya dilatarbelakangi oleh kelelahan petugas pemilu di tahun 2019 lalu, menyebut bahwa pemilu nasional dan daerah akan dilaksanakan dengan selisih waktu dua setengah tahun.

Baca Juga:   Kawal Aspirasi Driver Online, Pemprov Kaltim Dorong Kemenhub Buat Regulasi Khusus

Namun, menurut Sofyan, kebijakan ini bisa menciptakan preseden buruk, sebab bisa saja digunakan untuk memperpanjang masa kekuasaan kepala daerah di luar ketentuan yang berlaku. Ia juga menyinggung soal pentingnya menjaga integritas demokrasi dalam setiap perubahan mekanisme pemilu.

Lebih jauh, Sofyan mengungkapkan bahwa DPD RI tengah mengkaji wacana pengembalian pemilihan kepala daerah ke DPRD, sebagaimana sistem yang berlaku sebelum era reformasi. Wacana tersebut muncul sebagai reaksi atas maraknya praktik politik uang dalam sistem pilkada langsung.

“Transaksional dalam politik elektoral makin sulit dikendalikan. Ini merusak esensi demokrasi. Maka dari itu, sebagian pihak mempertimbangkan untuk mengembalikan pilkada ke DPRD, meski itu bukan solusi ideal,” terangnya.

Meski begitu, ia mengaku pribadi masih mendukung sistem pemilihan langsung karena lebih sejalan dengan prinsip demokrasi. Hanya saja, menurutnya, pengawasan harus ditingkatkan secara signifikan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan praktik kotor dalam proses pemilu.

“Kalau pun nanti diputuskan kembali ke DPRD, mungkin bisa diterapkan sementara selama dua periode untuk evaluasi. Tapi idealnya tetap pilkada langsung, dengan kontrol yang maksimal,” pungkasnya.

Baca Juga:   Berpotensi, Kampung Ketupat Akan Diseriusi

Penulis: Hadi Winata
Editor: Andi Desky

BERITA POPULER