SAMARINDA – Proyek pembangunan Terowongan/Tunnel di Kelurahan Selili, Kecamatan Samarinda Ilir, merupakan salah satu megaproyek di bawah kepemimpinan Andi Harun.
Terowongan pertama di pulau Kalimantan yang akan menghubungkan Jalan Sultan Alimuddin – Jalan Kakap ini sempat mendapatkan perhatian publik terkait Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
“Revisi AMDAL itu sudah biasa, tidak perlu menjadi polemik. Saya rasa itu terlalu dibesar-besarkan oleh media,” ujar Andi Harun saat diwawancarai beberapa waktu lalu.
Ia pun tidak menampik adanya keterlambatan penyelesaian terowongan dari target awal. Awalnya dijadwalkan selesai pada November, namun penyelesaian tidak bisa dipastikan. Pemkot berupaya menyelesaikannya sebelum Desember tahun ini.
Di sisi lain, Fajar Alam, ahli geologi, menganggap proyek tersebut belum sepenuhnya transparan. Masih banyak data yang disembunyikan dari publik.
“Saya tahu, sejauh ini Pemkot Samarinda telah berupaya untuk memastikan proyek ini dilaksanakan sesuai ketentuan. Memang akses terhadap data hasil pengeboran mungkin terbatas sehingga tidak banyak yang bisa diketahui,” ucap dosen Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur (UMKT) itu.
Berdasarkan survei geologi tahun 1995 yang direvisi tahun 2011, diketahui bahwa Bukit Selili memiliki patahan naik yang memanjang dari selatan, sekitar Palaran menuju Bukit Selili sampai ke Marang Kayu.
Struktur geologi ini dikenal sebagai antiklin, yaitu lipatan lapisan batuan sedimen atau batuan metamorfosis yang cembung ke atas. Bukit ini terbentuk akibat gerakan tanah dari 1-2 juta tahun lalu.
Dari struktur tanah Bukit Selili, pembangunan terowongan pastinya bukan tanpa risiko. “BPBD Kota Samarinda, misalnya, membuat dokumen kajian risiko bencana yang mengadopsi dari peta geologi. Daerah Selili memang dikategorikan rawan potensi bahaya tertentu, dalam hal ini bahaya longsor,” ungkap Fajar.
Untuk memahami kondisi batuan tanah, telah dilakukan uji lab dengan pengeboran pada kedalaman tertentu. Hasilnya menjadi dasar studi kelayakan yang sejauh ini telah dilakukan pemerintah untuk menghindari risiko longsor.
Fajar juga memaparkan bahwa ada dua jenis batuan di Bukit Selili, yaitu batuan pasir dan batuan lempung. Di musim hujan, batuan lempung dapat membuat celah-celah air walaupun hanya beberapa milimeter hingga ke bawah. Oleh karena itu, perlu ada rekayasa pembangunan terhadap air permukaan.
Kemungkinan longsor menjadi tantangan dalam pembangunan terowongan karena kelerengannya mencapai lebih dari 60 derajat di bagian tertentu. Ketika batuannya lapuk, gravitasi akan menurunkan tanah di lereng lebih tinggi ke bawah akibat kelebihan beban. “Jika vegetasi ditebang untuk pembangunan, tanah akan lebih banyak bergerak,” jelas Fajar.
Meskipun bangunan itu kuat, tantangan lainnya adalah batuan di Bukit Selili yang sebelumnya pernah patah, sehingga sudah pernah berpindah dari tempat semula. Diduga, Belanda pernah membuat terowongan di area tersebut saat masa penjajahan. Hal ini mempengaruhi daya tahan tanah akibat aktivitas manusia. Entah cerita itu benar atau tidak, Fajar tetap mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati.
Belum lagi perhitungan mengenai risiko kendaraan berat, lampu jalan, dan ketahanan dinding terowongan. Karena nanti pasti akan ada pengendapan air dalam tanah. “Bagaimana dengan aliran air di atas terowongan agar bisa masuk dan lewat dengan aman?” tambahnya.
Pengkajian dampak pembangunan terowongan harus dilakukan lebih mendetail dengan melibatkan para ahli. Fokus kajian terpisah mengenai efek perekonomian masyarakat dan upaya meminimalisir bangunan yang terabaikan akibat pembangunan terowongan juga perlu diperhatikan.
Terlepas dari itu, meski pemerintah telah memperhitungkan risikonya, Pemerintah Kota seyogianya memberikan informasi kepada publik mengenai progres dan kendala. Agar masyarakat dapat memahami keuntungan dari pembangunan Terowongan Selili. Jika tidak, proyek tersebut bisa saja tidak berdampak apa-apa.
Pewarta: Khoirul Umam
Editor: Agus S