JUMAT, 20 Juni 2025. Saya dan istri sedang berada di Samarinda. Usai menyelesaikan urusan di Polresta sore itu, saya memutuskan untuk menengok Big Mall. Ada rasa penasaran yang belum tuntas sejak kebakaran pada 3 Juni lalu. Mall terbesar di Samarinda itu sudah dibuka kembali sejak 16 Juni. Tapi, benarkah sudah aman?
Saya arahkan mobil ke lantai tiga, pintu masuk utama seperti biasa. Tapi sesampainya di sana, aksesnya masih ditutup. Tampak rangka besi dan material renovasi masih terpasang. Petugas parkir memberi isyarat agar saya turun ke lantai dua. “Baru lantai dua dan satu yang dibuka, Pak,” katanya singkat.
Saya turunkan mobil perlahan. Area parkir terlihat lengang. Kendaraan yang terparkir bisa dihitung jari. Saya masuk lewat pintu dalam, suasananya terasa berbeda. Masih sepi. Belum terasa seperti mall yang benar-benar beroperasi. Hypermart di lantai dua masih tutup. Beberapa toko mulai bersih-bersih, tapi belum ramai.

Seorang petugas keamanan menghampiri. Ia mengatakan bahwa lantai tiga ke atas masih belum bisa diakses. “Masih ada pengerjaan, Pak. Mungkin sekitar satu setengah bulan lagi. Tapi tenant di lantai bawah sudah mulai dibuka,” katanya.
Saya bertanya, “Tapi kan belum ada SLF (Sertifikat Laik Fungsi)?”
Ia menggeleng pelan. “Kami juga kurang tahu, Pak. Tapi pengamanan sudah jalan. Ada lebih dari seratus petugas yang berjaga, dibagi dalam tiga shift. Toko-toko juga mulai bersih-bersih, persiapan buka.”
Saya sempat minta izin untuk naik ke lantai atas. Tidak diperbolehkan. “Kalau ke Kordinat, rumah makan di lantai tiga, itu bisa. Tapi hanya itu. Area lain belum boleh. Nanti kami dampingi,” katanya.
Saya ke atas, sekadar ingin melihat. Tidak berniat makan. Dan benar saja, belum ada tanda-tanda mall siap dibuka penuh. Plafon masih terbuka, banyak area ditutup triplek, eskalator tidak semuanya berfungsi. Petugas kebersihan masih sibuk di depan gerai Matahari.
Yang jadi pertanyaan saya: kenapa harus buru-buru dibuka? Padahal, penyebab pasti kebakaran belum selesai diselidiki.
Media memberitakan bahwa api berasal dari tenant Charles & Keith di lantai UG, merembet ke tujuh tenant lainnya. Tim Puslabfor Mabes Polri dari Surabaya masih meneliti barang bukti. Tapi manajemen menyatakan bahwa lantai LG dan GF sudah bisa dibuka. Lantai UG ke atas, termasuk bioskop XXI, masih ditutup.
GM Big Mall, Tumpal MP Silalahi, menyebut sistem proteksi kebakaran di lantai bawah berfungsi. Tapi pernyataan itu kontras dengan temuan Disdamkar. Inspeksi terakhir mereka menemukan banyak masalah: pompa diesel pemadam tidak stabil, sprinkler tidak aktif di titik awal api, detektor asap dan panas tidak bekerja saat dibutuhkan. Jalur evakuasi dan lampu darurat pun belum sesuai standar.
Akibatnya, saat kejadian, asap tebal memenuhi mall dan belasan orang harus dilarikan ke rumah sakit karena sesak napas.
Ketua Komisi III DPRD Samarinda, Deni Hakim Anwar, juga angkat suara. Ia menyebut belum menerima laporan resmi hasil investigasi. “Sistem keamanan seperti sprinkler dan hydrant harus dievaluasi. Kami akan terus memantau,” tegasnya.

Yang membuat saya lebih heran, Dinas PUPR Kota Samarinda justru mengaku belum mengeluarkan izin operasional maupun SLF. Mereka baru tahu mall dibuka lagi dari unggahan di media sosial.
Itu berarti, saat saya berada di dalam Big Mall hari itu, saya sedang berada di gedung publik yang secara teknis belum dinyatakan laik fungsi.
Saya bukan pejabat. Bukan ahli teknis. Saya hanya warga biasa. Tapi saya tahu satu hal: keselamatan bukan soal opini. Bukan juga soal mengejar target operasional. Keselamatan adalah soal tanggung jawab.
Big Mall tentu ingin kembali ramai. Tenant ingin segera berdagang. Manajemen pasti ingin memulihkan kerugian. Itu wajar. Tapi kalau gedung belum laik fungsi, sistem belum siap, dan penyelidikan belum selesai—kenapa harus dipaksakan?
Api tidak akan menunggu surat izin. Ia tidak peduli siapa yang menyetujui atau siapa yang lalai. Kalau hal ini terulang lagi, siapa yang akan bertanggung jawab?
Oleh: Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.