spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ketika Monyet Turun ke Kota

PAGI INI, 26 Juli 2025, belum pukul delapan. Di atas atap rumah warga di Jalan Gunung Kawi, Perumahan Bukit Sekatup Damai (BSD) Bontang, seekor monyet tampak melintas cepat. Ekornya panjang menjuntai, melompat dari ujung atap seng ke bagian beton rumah tetangga. Tak lama berselang, sekitar sepuluh ekor lainnya muncul di sisi rumah sebelah. Mereka duduk santai sambil mengudap sesuatu. Kemungkinan sisa buah dari tong sampah warga.

Seekor monyet lain terlihat melompat lincah dari kabel listrik ke tong sampah, lalu masuk ke dalamnya, mengaduk-aduk, mencari makanan. Sampah menjadi sarapan pagi. Ada juga yang duduk di atas genteng rumah, menggenggam buah yang entah diambil dari mana. Dua ekor tampak memeriksa tong sampah berwarna kuning dan biru di tepi jalan, sementara satu lainnya bergelantungan di pagar rumah warga.

Ini bukan kejadian satu-dua kali. Hampir setiap pagi. Mereka datang dari arah hutan mangrove yang berada di belakang Perumahan BSD, tepatnya berbatasan langsung dengan BSD Tahap VI.

Baca Juga:   Seragam Gratis Tapi Tetap Bikin Repot! Orang Tua Siswa Bingung

Setiap kemunculan mereka selalu meninggalkan jejak: atap rumah kerap bocor, kabel terganggu, hingga tong sampah berhamburan. Bahkan, seorang tetangga pernah mendapati seekor monyet mati di halaman belakang rumahnya. Entah karena sakit atau akibat konflik antar sesama mereka.

– Monyet terlihat mengais isi tong sampah di depan rumah warga, mencari sisa makanan.

Saya tinggal di Jalan Gunung Kawi 3, lokasi yang juga menjadi kantor Media Kaltim. Di lingkungan ini, warga seperti Pak De Joko sudah terbiasa menyiapkan ketapel. Bukan untuk berburu, melainkan sebagai alat berjaga, mengusir kawanan monyet yang kian berani. Kadang mereka datang berombongan, belasan ekor. Ada pula yang menyelinap hingga ke dapur warga.

Persoalan ini pernah saya diskusikan bersama Ketua BKL BSD, Bapak Supriyadi, dan Anggota DPRD Bontang, Bapak Saeful Rizal, yang kebetulan juga tinggal di BSD. Kami sepakat, ini bukan lagi sekadar gangguan harian, tapi sudah menjadi masalah tata ruang dan lingkungan yang memerlukan penanganan lintas sektor.

Kita tidak bisa semata-mata menyalahkan satwa. Mereka kehilangan ruang hidup. Mereka datang bukan untuk menyerang, melainkan untuk bertahan hidup. Kota tumbuh, hutan menyusut. Namun, di tengah ketimpangan itu, siapa yang sungguh-sungguh memikirkan transisi ruang bagi makhluk selain manusia?

Baca Juga:   Banjir Samarinda dan Tanda Tanya di Periode Kedua Andi Harun

Karena itu, sejumlah langkah perlu segera diambil. Pertama, zona penyangga antara permukiman dan hutan mangrove harus dibuat jelas. Pagar alami seperti semak berduri atau vegetasi padat bisa jadi pembatas efektif tanpa merusak ekosistem.

– Seekor monyet duduk di atap rumah sambil memakan buah, hasil rampasan dari sekitar permukiman.
– Seekor monyet melompat dari kabel listrik menuju tong sampah di halaman rumah warga.

Kedua, Dinas Lingkungan Hidup dan BKSDA perlu memetakan populasi monyet di kawasan BSD. Ini penting untuk mengetahui apakah mereka penghuni tetap atau migrasi karena habitatnya rusak.

Selanjutnya, pemerintah dapat menyediakan titik pakan di lokasi jauh dari permukiman untuk mengalihkan pergerakan mereka. Pemindahan hanya jadi opsi terakhir jika situasi tak terkendali.

Edukasi warga juga krusial. Mulai dari menjaga tong sampah tetap tertutup, tidak memberi makan sembarangan, hingga memahami langkah aman saat berinteraksi dengan satwa.

Yang tak kalah penting, perlu forum komunikasi rutin antara warga, Pemkot Bontang, dan DPRD. Forum ini bukan sekadar ruang aduan, tapi tempat menyusun solusi bersama agar warga tak lagi hanya mengandalkan ketapel atau pasrah.

Kita kembali diingatkan, kota yang baik bukan hanya ramah manusia, tapi juga memberi ruang hidup bagi makhluk lain yang lebih dulu tinggal. Jika tidak, konflik ekologis tinggal menunggu waktu. (*)

Baca Juga:   PSU Mahulu: Suara Ulang, Harapan yang Sama

Oleh: Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.

BERITA POPULER