RABU (23/7) sore tadi, saya menerima video berdurasi pendek dari wartawan di grup redaksi Media Kaltim. Video itu memperlihatkan Gubernur Kaltim, Rudy Mas’ud (Harum), menyampaikan permintaan maaf secara langsung kepada para wartawan.
Video itu direkam saat sesi wawancara usai agenda resmi, sehari setelah insiden ajudan gubernur yang membatasi ruang kerja jurnalis dan mengucapkan kalimat “tandai”.
Tanpa menunggu lama, video tersebut langsung kami tayangkan di akun Instagram Media Kaltim, Koran Nusantara, Radar Balikpapan, Radar Ibukota, dan jejaring media lainnya. Karena di situ, Gubernur tidak hanya menjawab, tapi mengambil tanggung jawab penuh secara terbuka.
“Saya mohon maaf. Itu spontan. Tidak ada niatan sedikit pun membatasi. Kita akan terus berkolaborasi dengan teman-teman media,” ucap Gubernur Rudy kepada wartawan.
Sikap ini patut diapresiasi. Di tengah derasnya kritik, Gubernur Harum tidak lepas tangan. Ia tak bersembunyi di balik protokol. Ia menjawab sendiri, dengan tenang, jujur, dan penuh kesadaran bahwa relasi antara pemerintah dan media tak boleh retak hanya karena satu insiden.
Sementara itu, publik belum lupa kronologinya. Video yang lebih dulu viral memperlihatkan ajudan Gubernur mendorong kamera, membatasi peliputan, dan mengucapkan “tandai” kepada salah satu pewarta. Video itu menyebar cepat dan mengundang reaksi. Komentar netizen memenuhi kolom di akun seperti @media_kaltim, @jurnalborneocom
@samarinda_responinfo, dan kanal lainnya.
Banyak komentar yang bernada mengingatkan:
“Semoga ke depan lebih bijak menghadapi wartawan yang sedang bertugas.”
“Wartawan juga bekerja, lebih baik didekati secara persuasif.”
“Kita semua butuh informasi yang terbuka, bukan ditutup-tutupi.”
Di lingkup jurnalis, diskusi pun ramai. Di grup redaksi Media Kaltim, PWI Kaltim, hingga Wartawan Legend, banyak yang menyayangkan kejadian tersebut. Tapi tidak ada yang membalas dengan emosi. Jurnalis tetap bekerja seperti biasa, mendorong klarifikasi dan memberi ruang bagi pemimpin untuk menjawab. Dan itu dilakukan Gubernur Kaltim.
Pengamat hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, menyebut kejadian itu sebagai bentuk pembatasan terhadap kerja jurnalistik. “Kalau pun merasa pertanyaan wartawan tidak relevan, ya cukup tidak dijawab. Tapi jangan sampai menghalangi atau membatasi ruang kerja teman-teman jurnalis,” ucapnya.
Ia juga menegaskan, jika tidak ada evaluasi terhadap staf yang bertindak, publik bisa menilai bahwa kepala daerah menoleransi pembungkaman terhadap kebebasan pers.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Samarinda pun mengecam insiden tersebut. Ketua AJI Samarinda, Yuda Almerio, menilai tindakan ajudan merupakan bentuk intimidasi.
“Perilaku seperti itu adalah bentuk penghalangan kerja pers. Kami mendesak evaluasi internal dan permintaan maaf terbuka dari pimpinan daerah.”
Sementara itu, Kepala Biro Administrasi Pimpinan Setda Kaltim, Syarifah Alawiyah, meminta agar persoalan ini tidak dibesar-besarkan. Ia menyebut semua pihak di lapangan bekerja di bawah tekanan dan berharap masyarakat bisa memahami konteksnya.
Namun tekanan bukan alasan untuk mengabaikan etika. Justru dalam tekananlah sikap pejabat diuji. Karena itu, langkah Gubernur yang merespons dengan tenang dan terbuka harus dijadikan standar baru: pemimpin yang mau mendengar, bukan membungkam.
Tapi klarifikasi saja tidak cukup. Ada baiknya ke depan dibentuk forum komunikasi rutin antara Pemprov Kaltim dan insan pers. Bisa dikemas ringan — ngopi bareng Gubernur, diskusi informal, atau briefing dua bulanan. Jika Gubernur berhalangan hadir, bisa diwakilkan oleh Wakil Gubernur, Sekda, atau pejabat yang ditunjuk. Bahkan akan lebih baik jika Pemprov menunjuk juru bicara resmi yang paham dunia media.
Karena pada dasarnya, komunikasi yang sehat tidak hanya mencegah konflik, tapi juga memperkuat kepercayaan publik.
Yang perlu ‘ditandai’ hari ini bukan wartawan. Tapi tekad untuk menjaga ruang kritik tetap terbuka.
Oleh: Agus Susanto S.Hut., S.H., M.H.