SAMARINDA – Perilaku “pick me”, narsistik, dan gangguan kepribadian borderline (BPD) bukan sekadar sikap, tapi bisa jadi indikasi gangguan mental serius yang kerap luput dipahami, terutama di kalangan generasi muda.
Isu ini dibedah dalam Seminar Psikoedukasi bertajuk “Mengeksplorasi Pick Me dalam Spektrum Narcissistic Personality Disorder (NPD) dan Borderline Personality Disorder (BPD)” yang digelar Fakultas Psikologi Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Samarinda, Rabu (2/7/2025).
Kegiatan ini merupakan bagian dari tugas akhir Mata Kuliah Psikologi Abnormal mahasiswa Psikologi Untag Angkatan 2023, yang melibatkan 250 peserta dari kalangan mahasiswa, pelajar SMA Gen Z, hingga masyarakat umum. Seminar berlangsung di Auditorium HM Ardans Untag Samarinda.
Ketua panitia Tri Utami Handayani bersama Humas kegiatan Roessalina Arfansyah menjelaskan, seminar ini bertujuan membuka ruang diskusi dan meningkatkan sensitivitas masyarakat terhadap isu kesehatan mental. “Kami ingin mengajak publik memahami fenomena pick me behaviour dan keterkaitannya dengan NPD dan BPD secara ilmiah dan lebih utuh,” kata Tri.
Pj Rektor Untag Samarinda, Dr. Evi Kurniasari Purwaningrum, S.Psi., M.Psi., Psikolog, menyambut baik inisiatif ini. Menurutnya, kegiatan ini menjadi jembatan antara teori di ruang kelas dan pemahaman publik terhadap fenomena mental yang banyak ditemukan di media sosial. “Mahasiswa bisa berperan sebagai agen edukasi bagi masyarakat,” ujarnya saat membuka acara.
Dekan Fakultas Psikologi Diana Imawati, S.Psi., M.Psi., Psikolog, menambahkan, masih banyak anak muda belum memahami langkah yang tepat saat menghadapi gangguan mental. “Padahal, informasi tentang kesehatan mental beredar luas, namun minim pemahaman mendalam. Seminar ini mencoba menjawab kebutuhan itu,” katanya.
Dosen pengampu mata kuliah, Annisya Muthmainnah T., M.Psi., Psikolog, menjelaskan, tema seminar dipilih langsung oleh mahasiswa karena dianggap relevan dan mencerminkan spektrum gangguan kepribadian yang sering tidak disadari.
Annisya yang menjadi pemateri internal, bersama Jovita Nabila Prinanda, M.Psi., Psikolog (praktisi dari Alurasa.id Surabaya), mengupas akar psikologis perilaku “pick me” yang sebenarnya merupakan ekspresi luka batin. “Pick me itu bukan gaya hidup. Ia bisa berasal dari trauma dan ketakutan ditolak yang tidak terselesaikan sejak masa kecil,” jelas Annisya.
Jovita menambahkan, banyak individu dengan NPD terlihat sangat percaya diri, tapi sebenarnya rapuh dan butuh validasi. “Mereka mudah marah, ingin terus dipuji, dan takut dianggap lemah,” ungkapnya.
Keduanya menekankan pentingnya intervensi psikologis untuk penanganan, antara lain dengan Dialectical Behaviour Therapy (DBT) dan Cognitive Behaviour Therapy (CBT). DBT fokus pada penerimaan emosi dan pelatihan mindfulness, sementara CBT lebih menekankan perubahan pola pikir negatif menjadi adaptif dan sehat.
Salah satu peserta dari Universitas Brawijaya, Malang, mengajukan pertanyaan soal pelabelan “pick me” yang justru bisa memperparah trauma, dan mengapa stigma gangguan mental lebih banyak ditujukan pada perempuan.
Menanggapi itu, Annisya menekankan bahwa pelabelan sembarangan dapat memperberat beban psikologis. “Persepsi publik harus diluruskan. Label semacam itu sering lahir dari bias sosial, bukan dari pemahaman ilmiah,” tegasnya.
Seminar ini menjadi bukti bahwa diskursus psikologi di kalangan akademisi muda bisa menjadi jembatan edukasi bagi masyarakat luas. (rls)
Editor: Agus S