Foto: Spanduk penolakan pendirian Gereja Toraja Samarinda Seberang. (Hadi Winata/Radar Samarinda)
SAMARINDA – Pendirian Gereja Toraja di Sungai Keledang, Samarinda Seberang kembali mendapat penolakan yang dilakukan dengan pemasangan sejumlah spanduk di beberapa titik strategis pendirian gereja. Hal ini menjadi polemik yang rumit dikarenakan benturan antarhak dan dinamika pemenuhan administrasi, yang bermuara pada permasalahan sosial bermasyarakat.
Sejumlah spanduk penolakan ini terpantau terpasang di lokasi-lokasi strategis seperti bawah Flyover Jembatan Mahakam IV, sekitar Kantor Kelurahan Sungai Keledang, dan area permukiman warga RT 24. Dengan beralasan kurangnya kesepakatan antarmasyarakat, narasi itu mengklaim proses administrasi yang belum rampung oleh pihak Gereja Toraja.
Atas penolakan ini, Hendra Kusuma, Ketua Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) Kalimantan Timur sekaligus kuasa hukum Gereja Toraja, menyayangkan kejadian ini. Dirinya menyebut tindakan ini sebagai bentuk intimidasi simbolik yang sudah terjadi tiga kali, dengan jumlah spanduk yang terus bertambah.
“Padahal dari sisi hukum dan administrasi, kami sudah mematuhi semua syarat yang ditentukan,” jelas Hendra, Senin (26/5/2025)
Padahal menurut Hendra, pihak gereja telah mengantongi dokumen penting yang menjadi syarat utama pendirian rumah ibadah dalam hal administrasi, seperti Surat Rekomendasi FKUB, rekomendasi dari Kementerian Agama Kota Samarinda, serta surat dukungan dari 105 warga sekitar dan 90 jemaat aktif.
Meski 20 warga kemudian mencabut dukungannya, Hendra menegaskan bahwa dukungan yang tersisa masih melebihi batas minimal sesuai ketentuan dan persyaratan dari kementerian.
“Secara administratif, pendirian gereja ini sah. Kami tetap terbuka untuk dialog agar tidak terjadi kesalahpahaman di masyarakat,” tegasnya.
Di sisi lain, warga yang menolak menyuarakan keraguan terhadap proses perizinan, yakni Ketua RT 24 Sungai Keledang, Marliani, mengatakan bahwa sebagian warga merasa tidak pernah dimintai persetujuan atau tanda tangan dalam proses pendirian gereja.
Menurutnya, pemasangan spanduk tersebut merupakan bentuk ekspresi masyarakat yang menolak pendirian gereja. Marliani menyangkal bahwa upaya ini dilakukan oleh pihak kelurahan maupun pihak RT.
“Harus ada verifikasi ulang oleh FKUB. Jangan hanya berdasarkan data administratif,” ujar Marliani.
Disamping itu, Lurah Sungai Keledang, Rahmadi juga menegaskan pentingnya menyikapi persoalan ini dengan arif. Ia menyatakan bahwa pendirian rumah ibadah tidak hanya soal izin, tetapi juga soal penerimaan sosial di lingkungan setempat.
Untuk itu, Rahmadi menekankan pentingnya keseimbangan antara kelengkapan administrasi dan penerimaan sosial dalam pembangunan rumah ibadah.
“Kami di kelurahan bersikap netral dan hanya sebagai fasilitator. Dialog terbuka harus dilakukan agar tidak timbul konflik lebih besar,” tutupnya singkat.
Penulis: Hadi Winata
Editor: Andi Desky