spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Masyarakat Tercekik, Perputaran Ekonomi Diproyeksi Jelang Lebaran Kian Lesu

SAMARINDA — Tahun 2025 diproyeksikan terjadi penurunan aktivitas ekonomi selama momentum Ramadan dan Lebaran. Berdasarkan survei Potensi Pergerakan Nasional yang dirilis oleh Kementerian Perhubungan, jumlah pemudik tahun ini diperkirakan mengalami penurunan sebesar 24 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Total pemudik nasional hanya mencapai sekitar 146 juta orang.

Menurut salah satu media nasional, asumsi perputaran uang selama Lebaran tahun lalu mencapai Rp157 triliun. Tahun ini diprediksi turun menjadi Rp137 triliun. Perhitungan tersebut didasarkan pada rata-rata uang yang dibawa setiap keluarga pemudik, yakni sekitar Rp3,75 juta, dengan asumsi 36 juta keluarga beranggotakan empat orang.

“Diproyeksikan terjadi penurunan perputaran uang dibandingkan tahun lalu, yang disebabkan oleh potensi penurunan jumlah pemudik serta perubahan pola konsumsi masyarakat,” jelas Kepala Makroekonomi dan Keuangan INDEF, Muhammad Rizal Taufikurahman, dikutip dari sebuah media ekonomi nasional.

Menanggapi kondisi tersebut, Pengamat Ekonomi dari Universitas Mulawarman (Unmul), Purwadi, menyebut banyak faktor yang menyebabkan terjadinya penurunan konsumsi masyarakat. Menurutnya, hal ini bukan kali pertama terjadi, karena sejak tahun lalu penurunan ekonomi selama Ramadan dan Lebaran sudah mulai tampak.

Baca Juga:   Gubernur Kaltim Serukan Refleksi dan Kolaborasi pada HUT ke-68 Provinsi Kaltim

“Dari tahun lalu sudah terjun bebas daya beli masyarakat,” ujarnya saat dihubungi melalui WhatsApp, Sabtu (22/3/2025).

Faktor-faktor seperti inflasi dan deflasi yang silih berganti membuat nilai tukar rupiah tetap melemah. Termasuk juga meningkatnya kasus pemutusan hubungan kerja (PHK). Sepanjang tahun 2024, tercatat lebih dari 77 ribu kasus PHK, dan pada awal 2025, bertambah sekitar 4.000 kasus. Menurut Purwadi, kondisi ini merupakan salah satu faktor besar yang memperparah situasi, di samping instabilitas politik dan ekonomi nasional.

Ia pun tidak menampik bahwa kebijakan politik saat ini turut memengaruhi penurunan daya konsumsi masyarakat. Salah satunya soal efisiensi, yang berdampak besar terhadap berbagai kalangan.

“Sekali lagi, banyak faktornya (penurunan ekonomi), tetapi daya beli turun juga karena kenaikan gaji tidak sebanding dengan kenaikan harga-harga barang,” tuturnya.

Di Samarinda sendiri, Kepala Bandara APT Pranoto, Maeka Rindra Hariyanto, mengakui terjadi penurunan jumlah penumpang hingga 26 persen. Hal itu disebabkan oleh kebijakan efisiensi dan harga tiket yang lebih mahal dibandingkan Bandara SAMS Sepinggan Balikpapan. Kondisi tersebut dinilai sebagai ketimpangan antara pendapatan dan pengeluaran masyarakat, terutama di tengah masa transisi politik.

Baca Juga:   Pilkades Kukar: Siap Menang Siap Kalah!

Purwadi menyebut kondisi ini sebagai “ekonomi di pinggir jurang”, di mana masyarakat dengan pendapatan Rp5 juta harus mengeluarkan biaya hidup hingga tiga kali lipat. Tak heran jika proyeksi ekonomi tahun ini dinilai makin lesu karena masyarakat semakin terbebani.

Bahkan ia menuding negara telah gagal memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya. Masyarakat pun mulai melakukan resistensi dalam bentuk penghematan. Fenomena ini, menurutnya, tidak hanya terjadi secara nasional, tetapi juga terasa di wilayah Kalimantan Timur.

“Inflasi atau deflasi harus ditangani secara menyeluruh oleh pemerintah daerah, jangan cuma ditangani sepotong-sepotong,” sarannya.

Selain itu, buruknya akses distribusi di Kaltim juga dianggap sebagai pemicu lainnya. Meskipun telah terjadi pergantian kepemimpinan, persoalan serupa tetap muncul dan belum terselesaikan secara signifikan. Daerah yang seharusnya mandiri dalam perputaran ekonomi justru masih bergantung ke luar wilayah.

Pewarta: K. Irul Umam
Editor: Agus S.

BERITA POPULER