SAMARINDA – Hari Anti Korupsi Sedunia diperingati 9 Desember tiap tahunnya. Di depan Kantor Gubernur Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) pada Senin (9/12/2024) pagi, aksi cosplay dilakukan oleh sekumpulan pemuda mengatasnamakan Komite 30 Hari HAM.
Dalam aksi tersebut, massa membentangkan spanduk bertuliskan, “KPK Tak Berfungsi, Tambang ilegal Jadi Sarang Korupsi.” Sembari mengenakan pakaian dari 7 Institusi pemerintah yang dianggap paling rawan tindakan korupsi. Ketujuh institusi yang dimaksud adalah Presiden dan Menterinya, Polisi, Pebisnis, Advokat, Kepala Daerah, Pejabat Pemerintah dan Anggota DPRD.
“Data dari ICW menunjukkan sedikitnya 138 kandidat dalam Pilkada 2024 diduga terkait kasus korupsi,” jelas Diah Pitaloka selaku Penanggungjawab aksi.
Ia menyoroti bagaimana jalannya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) justru melestarikan politik dinasti. Dikuatkan dengan data dari Indonesian Corupption Watch (ICW) yang menemukan 33 dari 37 provinsi terafiliasi dengan dinasti politik.
Diah juga menegaskan, tingginya angka Golongan Putih (Golput) pada Pilkada juga merupakan respon kemuakan masyarakat terhadap rezim.
“Terjadi kenaikan rata-rata angka golput sebesar 6,23 persen. Masyarakat sesungguhnya juga sudah jenggah dengan tren yang terjadi paska rezim pemilu langsung dalam Pilkada,” duga Diah.
Aktivitas politik dinasti menyeret 7 institusi untuk terlibat dalam cawe-cawe kebijakan. Sebab biaya politik kemudian kerap bersumber dari “Ekonomi Underground.” Ekonomi Underground sendiri adalah aktivitas ekonomi bawah meja, melibatkan gratifikasi hingga pengerukan sumber daya alam secara ilegal.
“Aktivitas ekonomi yang kental dengan perlindungan aparat penegak hukum,” tegas Diah.
Pada peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia ini, diharapkan dapat meluaskan mosi tidak percaya terhadap 7 institusi yang dimaksud.
Karena korupsi demokrasi terluka dan masa depan bersama kita menjadi suram. Korupsi yang telah menjadi kanker stadium akhir ini membuat semua inisiatif pemulihan lingkungan, pembangunan berkelanjutan, ekonomi hijau dan mitigasi perubahan iklim menjadi solusi omong kosong belaka.
“Bahkan patut diduga solusi ini menjadi ladang korupsi baru yang bersembunyi dibalik narasi menyelamatkan masa depan umat manusia sedunia,” tutup Diah.
Pewarta : K. Irul Umam
Editor : Nicha R