spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Masyarakat Terjebak Pinjol dan Paylater, Pengamat: Rentenir Modern dengan Bunga Mencekik

SAMARINDA – Pinjaman online (pinjol) dan paylater semakin menuai kontroversi, terutama di tengah penurunan daya beli masyarakat Indonesia. Purwadi Purwoharsojo, pengamat ekonomi dari Universitas Mulawarman (Unmul), menyebut fenomena ini sebagai bentuk baru dari praktik rentenir yang menjerat masyarakat dengan suku bunga tinggi.

“Pinjol ini seperti rentenir gaya baru. Bunga yang mereka tetapkan bisa mencapai 24% per bulan, bahkan ada yang hingga 4% per hari. Kondisi ini jelas memanfaatkan ketidakmampuan masyarakat mengakses perbankan formal,” kata Purwadi saat diwawancarai oleh wartawan Media Kaltim, Selasa (8/10/2024) di ruang dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unmul.

Ia menyoroti bahwa ketidaksetaraan ekonomi di masyarakat menjadi salah satu penyebab tingginya ketergantungan pada pinjaman online. Banyak masyarakat, terutama pelaku UMKM dan kelompok yang tidak bankable, beralih ke pinjol karena sulit mendapatkan layanan dari bank formal.

“Pinjaman online menawarkan kemudahan, tetapi jebakannya adalah bunga yang sulit dilunasi. Ini menjadi masalah besar bagi masyarakat kecil,” jelasnya.

Purwadi juga menyinggung fenomena paylater yang kini mulai populer di kalangan generasi muda. Ia mencatat bahwa layanan paylater awalnya dirancang untuk memenuhi kebutuhan dasar, namun kini banyak digunakan untuk gaya hidup, terutama dalam hal fashion.

“Generasi Z menggunakan paylater lebih untuk fashion dan gaya hidup, bukan untuk kebutuhan pokok,” tambahnya.

Baca Juga:   Pencegahan Dini Kebakaran, Kadisdamkar Wajibkan Tiap Rumah Memiliki APAR

Selain itu, Purwadi mengungkapkan bahwa skala bisnis pinjol dan paylater kini telah mencapai angka triliunan rupiah. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hingga Agustus 2024, utang masyarakat di paylater mencapai Rp26,37 triliun, meningkat signifikan dibandingkan tahun sebelumnya. Bahkan, piutang paylater tumbuh 89,20% secara tahunan, mencapai Rp7,99 triliun.

Tak hanya itu, Purwadi juga mencatat dampak negatif dari deflasi selama empat bulan berturut-turut sejak Mei hingga Agustus 2024 yang semakin memperburuk daya beli masyarakat. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan deflasi mencapai 0,18% pada Juli.

Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mencapai 5,05% pada kuartal II-2024, di bawah target pemerintah. Meski demikian, Menteri Keuangan Sri Mulyani berharap konsumsi masyarakat akan tetap menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi hingga akhir tahun ini.

Namun, Purwadi juga mengkhawatirkan dampak meningkatnya judi online yang dinilai mengalihkan pengeluaran masyarakat dari kebutuhan konsumsi ke aktivitas perjudian. Ia menekankan bahwa judi online turut memperparah kondisi keuangan masyarakat.

Sementara itu, OJK melaporkan total outstanding pinjaman online di Indonesia telah mencapai Rp69,39 triliun per Juli 2024, dengan Jawa Barat menjadi wilayah dengan utang pinjol terbesar, mencapai Rp18 triliun, diikuti oleh Jakarta dan Jawa Timur.

Baca Juga:   Duta Wisata- Putri Wisata 2022, Momen Pemuda Promosikan Daerah

Purwadi menilai bahwa OJK belum berhasil mengendalikan lonjakan pinjaman online dan paylater yang berpotensi merusak stabilitas ekonomi masyarakat.

“Layanan ini sebenarnya bisa menjadi solusi jika dikelola dengan baik. Namun, jika terus dibiarkan seperti sekarang, pinjol dan paylater justru akan menjadi ancaman besar bagi masyarakat,” tutup Purwadi.

Penulis: Hanafi
Editor: Agus S

BERITA POPULER